Bab 3 -- Kotak Bekal Ungu

48 5 6
                                    

Mengingat masa lalu memang menyenangkan. Apalagi, ada momen istimewa tersendiri yang membekas dalam benak. Meskipun perkara hati masih terasa nyeri akibat perlakuan Kamel yang meminta break secara tiba-tiba membuat Juvena kesal, cowok itu malah teringat awal pertemuan mereka. Di perpustakaan sekolah, lalu di kedai boba. Nggak sengaja pula, kedekatan keduanya terjalin begitu saja. Seperti air yang mengalir dari hulu ke hilir.

Usai menghabiskan secangkir teh hangat, Juvena mengecek ponselnya. Ia pandangi dulu wallpaper layar kunci yang menampilkan foto selfi sepasangan kekasih. Siapa lagi kalau bukan Juvena dan Kamel ? Foto itu diambil ketika mereka asyik jalan-jalan di sekitaran bendungan Tirtonadi, selagi menikmati siang menjelang sore yang teduh.

Jujur, Juvena rindu. Rindu sekali sampai nggak tahu harus gimana lagi. Kurang lebih sebulan ia berjarak dari Kamel. Tiap hari tersiksa sebab rindu mulai merajai hati. Juvena pun nggak mau seperti itu terus. Dengan niat dan tekad yang kuat, Juvena ingin memperbaiki hubungannya dengan Kamel. Ya, walaupun mungkin gadis itu pasti nggak akan mau bertemu dengannya lagi.

"Gara-gara kamu, Mel. Aku galau sampe nggak makan tiga hari. Cuma pengen minum air doang. Parah, sih," gumam Juvena sambil tersenyum getir. Ia teringat oleh hari-hari buruknya selepas Kamel memutuskan untuk menjaga jarak. Mengingat, mereka ada di satu kampus yang sama, tetapi seolah Kamel seperti ditelan oleh bumi. Sehingga, Juvena pun jarang bertemu, apalagi sekadar menyapa.

Sempat beberapa kali berpikir, Juvena akan menyerah saja memperjuangkan cintanya kembali, tetapi di satu sisi, Kamel adalah cinta pertama cowok itu. Seseorang yang berhasil membuka pintu yang terkunci rapat setelah sekian lama dilanda kesepian. Oleh karena itu, Juvena nggak akan tinggal diam lagi, meratapi patah hati selama berhari-hari. Ia ingin berjuang, sampai tahu apa alasan sebenarnya Kamel mendadak minta break.

"Tunggu aku, Mel. Mulai detik ini, aku nggak akan menyerah seperti kemarin. Mungkin, bagimu kata break berhasil merentangkan jarak di antara kita, tetapi aku nggak akan berhenti lagi. Aku bakal memperbaiki hubungan kita seperti dulu."

Setelah berkata panjang lebar pada udara malam yang syahdu, yang kerap menemani kegalauan seorang diri, Juvena masuk ke kamarnya yang menghadap langsung dengan balkon tempatnya merenung barusan. Ia tersenyum lebar, seakan mendapat kekuatan untuk berjuang lagi. Juvena pun nggak pernah menyesal pernah dilanda patah, sepatah-patahnya karena cinta, sebab itulah yang menjadikannya kuat.

***

Masa bodoh, banyak pasang mata yang memperhatikannya ketika menunggu seseorang di fakultas lain. Tepatnya, sejak pagi-mungkin dari jam delapan-Juvena telah berdiri di dekat pintu masuk ruang mata kuliah 03 Fakultas MIPA di jurusan Kimia Murni. Ia terus menunggu sambil membawa kotak bekal warna ungu di tangannya. Modal bertanya sana-sini, Juvena akhirnya mendapat informasi soal jadwal kuliah Kamel. Namanya juga cinta, 'kan? Modal nekat dan malu-maluin nggak jadi masalah, lah.

Gesa: "Ju, posisi? Katanya, dirimu udah berangkat ke kampus? Kok, di kelas rak ono, sih?"

Getaran di ponsel mengalihkan atensi. Juvena langsung meraih benda pipih hitam berukuran 4,6 inch itu dari saku celana jeansnya. Ia melihat notifikasi chat WhatsApp dari Gesa. Teman dekat sekaligus sekelas di jurusannya.

Juvena : "Emange nek berangkat ke kampus kudu neng kelas disit, toh?" (Emangnya kalau berangkat ke kampus harus ke kelas dulu, sih?)

Balasan dari Juvena itu langsung mendapat centang dua biru dari Gesa.

Gesa : "Karepmu, Ju. Sekarang dirimu lagi di mana? Aku susul."

Juvena : "Nggak usah repot-repot, Bro. Aku ada urusan sebentar di fakultas sebelah. Ini semua demi kelangsungan masa depan yang lebih baik."

"Mas Juvena, ya?" Sebuah suara milik seseorang membuat Juvena sedikit tersentak kaget. Ia melihat sosok gadis berkerudung menutup dada, menatapnya dipenuhi tanya.

"Ngapain ke sini? Nungguin Kamel?" Bahkan, Juvena belum sempat merespons pertanyaan pertama, malah diberondong pertanyaan lagi dan lebih to the point. Hal itu, spontan memicu debaran di jantung semakin kencang.

Juvena merapatkan bibir. Demi mengurangi rasa gugup, ia pun pura-pura menggaruk bagian belakang kepala, mencari ketombe kalau ada.

"Enggak, sih, kebetulan lewat sini. Jadi, sekalian mampir," jawabnya nggak masuk akal. Parah, gara-gara salah tingkah, Juvena malah ngawur. Mampir ngapain coba? Lagian, Fakultas Teknik tempat asalnya lumayan jauh jaraknya dari Fakultas MIPA. Lagi-lagi, demi cinta.

Zeta menaikkan salah satu alisnya. "Emang, Mas Juvena nggak ada kuliah, toh? Kok, pake mampir segala?" Bilang aja, mau ngapeli Kamel, Mas, Mas. Pake alasan segala.

Duh, iki cewek, kok, kepo banget. "Ada, sih, bentar lagi." Juvena nyengir. "Kamu berangkat sendiri? Biasanya sama Kamel?" Ini Juvena cuma memastikan, ya. Karena dia tahu Kamel dan Zeta dekat. Suka ke kampus bareng.

"Ciye, kepo banget, sih, Mas. Coba tanya aja sama Kamel sendiri. Meskipun, udah jadi 'mantan' tetep harus bersilaturahmi, 'kan?" jawab Zeta selagi menyipitkan kedua mata. Ia sengaja menggoda Juvena. Pasalnya, ia juga paham kalau Juvena dan Kamel sedang berada di batas ambang hubungan. Setengah jadian, setengah putus.

Juvena berdecak pelan. "Tsk. Udah sana, kamu masuk ke kelas aja. Hus, hus." Ia mulai kesal lantaran Zeta membuatnya sebal. Kalau bisa bertanya sendiri pada Kamel, pasti sudah Juvena lakukan sebelum berangkat. Masalahnya, nomornya saja diblokir oleh cewek itu. Seberapa banyak chatnya yang dikirimkan, tetap saja ujungnya centang satu.

Ya, namanya cinta memang butuh perjuangan ekstra. Sebab, cinta bukan hanya kata sifat melainkan kata kerja agar perasaan selalu terjaga hingga akhir hayat.

Mendekati setengah jam menunggu yang terkasih, Juvena mulai pegal linu. Pasalnya, ia berdiri sejak tadi demi Kamel. Sayangnya, hilal itu takkunjung menampakkan diri. Sebenarnya, Kamel itu berangkat kuliah atau nggak, sih? Zeta emang nyebelin. Kenapa dia nggak mau kasih tahu aja? Mana pakai nge-godain segala lagi!

Seketika, dalam sekejap atensi Juvena teralihkan oleh sosok cewek berambut ikal panjang yang tengah berjalan mendekat. Cewek itu terus berjalan, nggak ngeuh ada Juvena yang sedang menatapnya lama.

"Kamel?"

Cewek itu terhenti. Kedua matanya refleks melebar. Ponsel dalam genggaman tangannya hampir saja tergelincir jatuh ke lantai.

"Ini buat sarapan." Tanpa basa-basi berlebihan, Juvena menyodorkan kotak bekal ungu berisi nasi goreng favorit Kamel. Kabarnya, made in Juvena sendiri. Tentu, menggunakan penyedap rasa penuh kasih sayang.

Kamel bungkam suara. Sedetik kemudian, ia berniat pergi saja tanpa mengindahkan Juvena, tetapi lengannya malah dicekal, untuk berhenti dan mengambil kotak bekal ungu itu.

"Ambil dulu, baru pergi. Aku buatin kamu nasi goreng pas pagi buta tadi. Tolong, hargain sedikit."

Kamel menepis tangan Juvena pelan. Ia mengernyit. "Saya nggak pernah minta dibuatkan nasi goreng," balasnya datar. "Jadi, apakah saya harus menghargai usaha kamu?"

Seperti busur panah yang melesat kemudian mengenai jantung, Juvena hampir limbung mendengar ucapan Kamel barusan, tetapi ia ingat niat awalnya. Harus waras demi mempertahankan cinta sejati.

"Mau dihargai atau nggak, kalau udah dikasih orang secara ikhlas tanpa paksaan harus diterima, Kamel. Karena kalau nggak, kamu bakal menyakiti hati si pemberi." Juvena nggak mau kalah. Ia lalu meraih tangan Kamel, menyuruh cewek itu menerima kotak bekal warna ungu darinya.

"Pokoknya ambil, terus dimakan isinya sampai habis. Jangan disisain nanti mubazir," ujar Juvena lagi, kemudian ia melangkah pergi sebab Gesa barusan menelpon, pertanda perkuliahan akan segera dimulai.

Tinggallah Kamel, masih berada di depan pintu kelas. Ia menatap kotak bekal ungu sejenak sebelum masuk. Ada rasa enggan untuk menerimanya apalagi menghabiskan isinya sendirian. Namun, ia juga nggak tega kalau membiarkan makanan itu berujung dibuang. Alhasil, Kamel terpaksa membawanya. Sisi positifnya ia bisa sarapan berat. Berhubung, tadi di rumah nggak sempat makan roti bakar yang telah disiapkan ibunya. Seenggaknya, tanpa disadari, perhatian Juvena itu membuahkan hasil yang cukup membahagiakan hati.

WHEN I MEET YOU WITH BOBA ✔️Where stories live. Discover now