Delapan-sembilan

29.6K 1.7K 38
                                    

Double updatee yaa gaesss yaa

" Terima kasih Bang Jangkar sudah membantu saya." Cia menghampiri Jangkar. Buk Titin sudah masuk ke dalam rumah.

Jangkar mengangguk. " Sama-sama." Ucap Jangkar datar.

"Umm ini mohon di terima Bang, sebagai ucapan terima kasih saya."

Cia mengangsurkan beberapa helai lembar merah. Jangkar menaikkan alis nya lalu menampilkan raut wajah datar nya kembali.

" Tidak perlu. Saya ikhlas." Sahut Jangkar terdengar dingin. Cia menjadi serba salah dengan sikap Jangkar

" Tapi, Bang Jangkar---,"

Jangkar sudah naik ke mobil nya sebelum Cia menyelesaikan omongan nya.

Cia hanya dapat mengerjapkan mata nya menatap kepergian mobil Jangkar.

" Apa aku salah ya?" Gumam Cia melihat ekspresi dingin dan tidak suka Jangkar barusan.

Cia hanya dapat melihat mobil Jangkar sudah menjauh. Ia merasa tidak enak dan merasa bersalah dalam satu waktu. Tapi kembali mengingat sepanjang perjalanan sampai pulang mereka baik-baik saja.

Cia masuk ke dalam rumah masih dengan benak bertanya-tanya.

"Non," panggil Buk Titin.

"Ya, Buk Titin, kenapa?"

"Bang Jangkar sudah pergi?" Buk Titin tampak celingukan.

"Sudah, Buk. Kenapa?"

"Mau saya buatin minum, Non. Ternyata sudah pergi orang nya."

"Lain kali saja, Buk."

Buk Titin pun mengangguk.

"Saya ke kamar dulu Buk."

Cia menuju ke kamar nya meninggalkan Buk Titin yang masih menatap belanjaan majikan nya.

Sambil menggeleng geleng kepala Buk Titin Bergumam. " Ini lah kehidupan orang kaya yang sebenarnya. Kalau di jumlahkan berapa banyak nya uang yang di habiskan Non Cia. Mungkin bisa menghidupi separuh warga di kampung ini." Gumam Buk Titin kepada dirinya sendiri.

Buk Titin pergi ke dapur. Ia harus memasak untuk makan malam sang Majikan.

Pak Mamat menghampiri istri nya. " Masak apa Buk?"

" Astaghfirullah. Bapak!!!" Jerit Buk Titin mengusap dada nya.

" Ngagetin aja sih!" Buk Titin melotot. Pak Mamat tertawa.

" Abis Ibuk terlihat serius sekali."
Pak Mamat masih tertawa kecil.

Lagi-lagi Buk Titin mendesah. Ia menatap Pak Mamat sejenak.

" Ibuk lagi mikirin Non Cia, Pak!"

" Lho, kenapa dengan Non Cia?" Pak Mamat menaikkan alis nya penasaran.

" Itu Non Cia belanja banyak sekali Pak. Sampai penuh itu di garasi sama ruang tamu. Waktu nemenin Non Cia aja, Ibuk susah tercengang tapi nggak ngomong apa-apa sih. Coba bayangkan, Pak. Berapa banyak uang yang di habiskan Non Cia. Bisa menghidupi setengah warga kita di sini, Pak."

" Ya, biar saja toh Buk. Uang kan uang nya Non Cia. Rumah juga rumah beliau. Kita nggak punya hak apa-apa, Buk. Biarkan saja. Kenapa Ibuk harus pusing sendiri memikirkan nya."

Buk Titin terdiam. " Mungkin karena kita orang miskin, Pak. Maka nya Ibuk seakan menyayangkan belanja Non Cia sebanyak itu." Desah Buk Titin.

" Sudah. Biarkan. Jangan ikut campur. Syukuri apa yang ada sama kita buk. Melihat itu ke bawah, jangan ke atas. Ibuk paham maksud Bapak kan?"

Jangkar Cinta (EBOOK READY DI GOOGLEBOOK/PLAYSTORE.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang