Jejeran peserta MOS berkumpul di depan mataku. Wajah berpeluh, alis menukik menahan terik mentari, tangan mengepal, dan tubuh tegap menghadap mimbar tiang bendera. Itu gambaran mereka semua.
Aku menipiskan bibir, mataku berpencar kesana kemari mencari barisan kelas yang sudah di infokan semalam. Dengan kaki lemas sehabis berlari, aku berusaha melangkah se-pelan mungkin agar kakak-kakak OSIS tak menyadari kehadiranku.
-ah, ralat, keterlambatanku maksudnya.
"Hei, kamu!"
Tubuhku terhentak kecil. Langkahku terhenti mendadak, dan dengan perlahan ku menoleh. Baru saja dibicarakan dalam hati, firasat buruk itu benar-benar terjadi.
Disana, kakak OSIS ber-nametag Adiva Maharani, tengah menatap tajam ke arahku dengan tangan berkacak pinggang. Ia berjalan mendekat dan mengangkat daguku tinggi-tinggi.
"Mau kemana, Dek?" tanyanya seperti meledek.
Dengan nyali yang tersisa, aku menjawab dengan pelan. "Ke barisan kelas 10.2, Kak."
"Kelasmu itu disana." Jari telunjuknya mengarah ke belakangku. Aku reflek menoleh dan mendapati barisan peserta MOS dengan warna nametag yang sama denganku, biru muda.
"Cepat baris," Kak Adiva menoleh ke sekitar, entah untuk apa aku tak mengerti. "Ada pengunduran jam upacara. Cepat kesana sebelum toleransi waktunya habis."
Mataku yang awalnya sayu sontak membulat senang. Aku menunduk dan mengucapkan terimakasih berkali-kali pada Kak Adiva yang hanya ia balas dengan usiran tangan.
Kini langkahku terhenti di baris paling belakang kelas 10.2. Tak ingin mengeluh lagi, aku bersyukur jam upacara diundur walaupun sekarang aku harus baris paling belakang yang mana di depanku berdiri laki-laki tinggi menjulang yang ku kira tinggiku pun tak mencapai bahunya.
Menyadari kehadiranku yang lumayan grasak-grusuk, laki-laki itu menoleh. Kami hanya diam bertatapan selama beberapa detik, dalam hati pun aku tak ingin berucap apa-apa jadi aku hanya diam menunggu ia bicara.
"Mau di depan?" suaranya kemudian.
Aku berpikir sejenak. "Boleh?"
Sejujurnya aku tak masalah kalau harus baris paling belakang, karena cahaya matahari yang terhalang tubuh tingginya, membuatku setidaknya sedikit merasa nyaman di banding peserta lainnya yang harus banjir keringat.
Laki-laki itu-yang kalau ku lihat dari nametag-nya bernama Asoka Basudewa-mengangguk dan mempersilahkan ku untuk berdiri di depannya.
Aku pun menuruti dan mengucap terimakasih. Ia mengangguk lagi, kemudian menundukkan kepala dan berbisik di belakang telingaku.
"Kalau masih gak keliatan, minta maju ke depan aja."
Aku hanya mengangguk dan mulai fokus mendengar pengumuman yang menyatakan bahwa upacara akan di mulai lima menit lagi.
•••
"Ini adalah kelas sementara kalian sebelum dibagi sesuai dengan jurusan peminatan. Jadi gunakan waktu sebaik-baiknya untuk beradaptasi dengan sekolah maupun teman baru kalian selama tiga hari disini."
"Baik, Kak!"
Kak Adiva, yang kebetulan menjadi pembina kelas kami pun melirik jam tangannya. Ia tersenyum aneh-yang menurutku menyeramkan-kepada sang rekan, yang ku ketahui bernama Kak Abimanyu.
"Ya, sekarang kalian semua berdiri di tempat duduk. Sebentar lagi Kakak OSIS lainnya akan datang dan menjalankan kegiatan sidak."
Sontak seluruh kelas ricuh. Menurut info yang beredar semalam, sidak akan dilaksanakan di hari ketiga MOS, bukan hari pertama. Tapi memang sial tengah memihak kami para peserta, OSIS ternyata telah merencanakan sidak rahasia di hari ini.
YOU ARE READING
Satu Cerita Untuk Kamu (Terbit)
Teen FictionBercerita tentang Renjana Manohara, anak perempuan lugu namun ambisius, yang baru saja masuk ke bangku sekolah menengah atas di tahun 2019. Membawanya bertemu Radipta Abra Supala, laki-laki mati rasa yang penuh tanda tanya. "Kita diciptakan hanya un...