Lima hari semenjak pertama kalinya notifikasi dari Radipta muncul di ponselku. Lima hari juga aku selalu bangun dengan senyuman terpatri.
Berkali-kali ku cek obrolan kami di Instagram, tapi belum ada balasan lagi semenjak empat hari lalu ku membalasnya.
Tapi setelah ku pikir-pikir, sepertinya Radipta tidak akan seniat itu untuk membalas pesan yang hanya berisi ucapan terimakasih.
Apa harusnya aku yang memulai topik kembali?
"Ciee, dipandangin terus."
"Astaga!"
Tanganku yang tadi reflek membalik ponsel pun bergerak mengelus dada. "Ya ampun aku kira siapa..."
Puspa-si pelaku-pun terbahak. "Kaget banget gitu. Takut ketauan anak kelas, ya?"
"Mereka juga kayaknya udah tau."
Bukan tanpa alasan aku berucap demikian. Jumat lalu, Achal si mulut ember meledekku karena di chat Radipta dengan suara besar di depan kelas. Membuat tiga kelas sepanjang koridor (IPA 5, IPA 6, IPA 7) mendengarnya.
Siapapun tolong ingatkan aku untuk tidak cerita pada Achal jika ada sesuatu tentang Radipta lain kali.
Tapi fakta dari sekolah negeri yang baru ku tahu, mayoritas siswa tidak peduli dengan urusan siswa lain yang tak mereka kenal. Ada rasa sedikit syukur karena aku belum punya banyak teman disini, jadi respon mereka yang mendengar rata-rata hanya menoleh sekilas lalu pergi begitu saja.
Begitu juga Radipta, laki-laki itu tak hadir jumat kemarin, tapi hal itu tetap tidak bisa membuatku tenang karena aku takut teman sekelasnya yang mendengar ucapan Achal memberitahunya.
"Radipta juga kayaknya tau, ya? Waktu itu kan kamu pernah cerita kalau Glara bilang Radipta tau soal itu."
Aku mengangguk lemah.
Entah itu benar, entah Glara berbohong agar aku sadar diri bahwa Radipta tak peduli. Tapi lagi-lagi, aku sangat berharap itu opsi kedua.
Fakta Glara berbohong lebih baik dibanding mengetahui fakta bahwa Radipta tahu dan tak peduli aku suka padanya.
"Aku gak tau itu bener atau enggak, tapi setiap ketemu Radipta reaksinya biasa aja, jadi aku ragu kalau dia tau." Aku menaruh kepala di atas meja, memandang jendela di sebelah kanan yang kerap menjadi tempat mataku dan Radipta bertubrukan ketika ia lewat. "Apa ternyata emang dia tau dan gak peduli, ya?"
"Haduh!" Puspa menepuk dahi. "Kayaknya kita butuh Nisha. Aku gak bisa kasih kata-kata petuah buat nenangin, Jan. Maaf banget, ini, mah!"
Bahuku sontak terguncang akibat tawa yang meledak.
Puspa memang tak tahu caranya memberi nasihat, tapi dia sangat paham caranya merubah keadaan dari sedih menjadi tawa.
Nyatanya Puspa dan Nayya berperan besar dalam pertemanan kami.
Omong-omong tentang Nayya, gadis itu tidak hadir karena demam hari ini. Entah apa yang ia lakukan sebelumnya sampai bisa panas tinggi dan hampir dirawat, tapi syukur keadaannya kian membaik semakin hari.
"Oh iya, kita jadi jenguk Nayya pulang sekolah?" tanyaku pada Puspa.
"Jadi, tapi kayaknya bakal nunggu Kayla selesai rapat OSIS. Gak papa kan nunggu dulu? Nanti kita ke kantin aja."
Aku mengangguk bersemangat. Sudah seminggu tak memakan mie tektek buatan ibu kantin karena kiosnya ramai sekali ketika istirahat. Jadi sekarang waktunya melepas rindu karena sudah bisa dipastikan kantin sepi ketika pulang sekolah.
Tak berselang lama, Nisha dan Adhia kembali ke kelas setelah sebelumnya pamit ke toilet. Kami memberitahu mereka perihal Nayya dan Kayla, mereka pun tanpa ba-bi-bu langsung menyetujuinya.
YOU ARE READING
Satu Cerita Untuk Kamu (Terbit)
Teen FictionBercerita tentang Renjana Manohara, anak perempuan lugu namun ambisius, yang baru saja masuk ke bangku sekolah menengah atas di tahun 2019. Membawanya bertemu Radipta Abra Supala, laki-laki mati rasa yang penuh tanda tanya. "Kita diciptakan hanya un...