Budayakan follow sebelum baca~
Happy reading! 🤍
•••
"Chal, tolong cat warnanya."
"Yang ini?"
"Iya,"
Achal menyerahkan kantung plastik hitam berisi cat warna yang baru saja ku beli. Aku pun menerimanya dan mengucap terimakasih.
Gadis itu berkata tengah bosan dirumah, jadi ia berkunjung ke rumahku untuk sekedar melihatku melukis dan pesan-pesan makanan. Karena sudah lama tidak main bersama pun aku mempersilahkannya.
Akhir-akhir ini aku kembali ke aktivitas biasanya-melukis-setelah beberapa saat sempat tak ingin menyentuh kanvas-kanvas tersebut karena selalu teringat Radipta.
Sekarang ku pikir tak perlu seperti itu. Melukis sudah seperti kegiatan wajib yang menjadi pelarianku di keadaan apapun. Semacam healing kalau kata orang-orang.
"Yang itu, mau dibuang? Kok dimasukin plastik item?"
Mataku tertuju pada arah pandang Achal. Ke sudut ruangan yang terdapat sekantung plastik hitam besar yang berisi beberapa kanvas. Gadis itu mendekat dan mengambil salah satu kanvas tersebut.
Ku biarkan saja ia penasaran sementara aku lanjut melukis abstrak karena perasaan sedang tidak karuan.
Senang tidak, sedih juga tidak. Ya, hambar saja.
"Ini Radipta?"
Sudah ku duga ia akan melontarkan pertanyaan tersebut. Lukisan yang ku masukkan ke dalam kantung itu memang sebagian besar lukisan yang berisi sosok laki-laki itu. Sudah dari lama ku simpan, kalau tidak salah semenjak kejadian di belakang panggung yang membuatku kecewa habis-habisan.
Semua menjadi tak terkontrol ketika kita tengah diselimuti emosi. Kala itu aku berpikir akan melupakan Radipta dan membuang kanvas-kanvas tersebut.
Tapi seiring berjalannya waktu aku mulai melunak lagi. Tak ada alasan untuk bertahan, tapi naluriku berkata demikian.
Omong-omong, Achal tak tahu soal itu semua. Tak ingin ku ceritakan juga karena takut ia keceplosan dengan Damar seperti cerita Glara kelas sepuluh lalu.
"Tau gak, sih," Achal duduk kembali di depanku, seraya menggenggam salah satu kanvas berisi sosok Radipta tengah berjalan dari belakang. "Orang yang disukain seniman, tuh, orang paling beruntung se-dunia."
Aku menyunggingkan senyum tanpa menatapnya. "Berarti Radipta beruntung?"
"Tapi semua itu gak akan ada artinya kalau orang yang kita suka gak nganggep kita berarti. Paham, kan?"
Aku menghentikan coretan lalu menoleh padanya. Achal merangkulku kemudian berkata,
"Kalo menurutku, sih, yang gak mau dikejar harusnya biarin aja lari sendiri. Gak perlu buang-buang waktu."
Aku mengerti arah pembicaraannya yang seakan menyuruhku untuk menyerah saja. Tapi aku dan Achal itu berbeda. Achal mudah beralih. Bila tidak cocok ia akan mencari orang baru dan dengan mudah melupakan seseorang yang mungkin awalnya ia incar.
Tapi aku tidak begitu. Aku tidak mencari Radipta dan tidak berniat untuk suka padanya. Ia dengan tiba-tiba muncul di depan mata dan rasanya tumbuh sendiri. Seperti semua di luar kendaliku.
Mungkin Radipta tidak peduli apabila ku lukis sosoknya di seribu kanvas sekalipun, atau mungkin juga tak peduli aku menulis ribuan kalimat yang mendeskripsikan sosoknya di mataku, pun tak peduli jika aku menyelipkan namanya di setiap doa.
YOU ARE READING
Satu Cerita Untuk Kamu (Terbit)
Teen FictionBercerita tentang Renjana Manohara, anak perempuan lugu namun ambisius, yang baru saja masuk ke bangku sekolah menengah atas di tahun 2019. Membawanya bertemu Radipta Abra Supala, laki-laki mati rasa yang penuh tanda tanya. "Kita diciptakan hanya un...