08. Sebenarnya...

85 68 16
                                    

"Apa lehermu sudah membaik?"

Nerissa hanya menjawab pertanyaan Luigi dengan anggukan kecil.

"Baguslah."

Satu langkah demi satu langkah mereka lakukan. Di tengah hutan yang sunyi sepi, hanya ada suara dari burung-burung dan hewan kecil yang bersarang atau bertempat tinggal di atas pohon.

Kesunyian terus menyelimuti perjalanan mereka. Mereka terus menerus berjalan lurus dengan langkah yang pelan.

Nerissa memikirkan sesuatu yang membuat dia reflek untuk bertanya pada Luigi yang sedang berada di sebelahnya.

"Pak Robert. Apa yang sebenar-benarnya terjadi dengannya?"

Luigi yang mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Nerissa pun langsung menjawabnya.

"Sama seperti yang sudah kubilang pada saat awal kita bertemu."

"Kamu masih berumur enam belas tahun, tapi kenapa kamu bisa mengetahui kejadian yang lama itu?" tanya Nerissa lagi yang masih penasaran.

"Aku memang tidak mengalami kejadian kelam yang menimpa tempat tinggal ku dulu, aku disuruh ibuku untuk berbohong bahwa aku mengalami kejadian kelam itu."

"Tapi kenapa?" tanya Nerissa.

"Ibuku mau kalian tidak mencurigai ku. Entah apa hubungannya, tapi itu yang ibuku suruh. Untuk aku yang tau tentang kejadian kelam itu, aku diceritakan oleh ibuku."

"Kenapa ibumu menceritakannya padamu? Bukannya cerita kelam itu disembunyikan darimu? Itu akan memperburuk citra tempat tinggal mu dan membuat ingatan buruk itu tertinggal di ingatanmu." ucap Nerissa yang kemudian dijawab oleh Luigi.

"Sebenarnya... Pak Robert adalah orang yang disembah-sembah atau dipuji-puji di daerah tempat tinggal ku.

"Disembah?"

"Iya. Di tempat tinggal ku, mereka semua melakukan sebuah ritual untuk menyembah Pak Robert. Aku tidak pernah melakukan ritual itu, aku hanya melihatnya. Karena di ketentuan ritual tersebut, seseorang harus berumur lebih dari dua puluh tahun." jelas Luigi yang masih berjalan bersama Nerissa.

"Ritual seperti apa?"

"Aku tidak terlalu mengetahui apa ritual yang dilakukan. Tapi yang aku lihat..."

*flashback*

"Dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita."

Sekumpulan orang-orang yang memakai pakaian adat yang aneh berkumpul di suatu lapangan kosong yang tidak jauh dari pemukiman.

Sebuah guci berukuran sangat besar ditaruh di tengah-tengah orang-orang. Orang-orang itu berkumpul duduk memutar mengelilingi sebuah guci besar yang berada tepat di tengah mereka semua.

"Dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita."

Mereka membungkuk ke arah orang yang berada di sebelah kiri mereka dan terus mengucapkan kata-kata tersebut berulang kali.

Dewa? Siapa orang yang dipanggil dewa itu? Apakah... Pak Robert?

Seorang laki-laki kurus, berwajah lesu dan suram berjalan dari arah hutan. Dia berhenti tepat di sebelah kiri dari orang-orang yang memanggilnya dewa.

Lalu, orang-orang itu membuat segaris jalan untuk laki-laki tersebut. Kemudian laki-laki itu berjalan perlahan ke arah guci besar tersebut. Pada saat laki-laki itu berjalan ke arah guci tersebut, orang-orang terus mengulangi perkataan mereka sambil membungkuk.

"Dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita, dipujilah dewa kita."

Seperti tidak ada lelahnya mereka mengucapkan kata-kata itu.

INSECT : Serenesia To Tranquilvale [DONE]Where stories live. Discover now