Bricia 29🔮

12.6K 1.5K 125
                                    

H̤̮a̤̮p̤̮p̤̮y̤̮ R̤̮e̤̮a̤̮d̤̮i̤̮n̤̮g̤̮!̤̮

●○●○●○●○










Tiara berdiri berulang kali mengetuk pintu ber cat coklat tua didepannya, tak ayal hati sang Ibu itu mulai resah karena Romero meningkatkan acara merajuk nya dengan mengurung diri di dalam serta tidak sarapan selama tiga hari ini.

"Rome keluar Rom, kamu harus isi perut kamu dulu Bunda khawatir, kamu emangnya gamau sekolah ketemu Cia lagi? kalau Cia masih marah kamu kencengin rayu dia nya jangan drama kaya gini," Tiara menghela nafas pelan menurunkan tangannya untuk berhenti menggedor pintu, "Yaudah kamu mau Bunda bujuk Cia kan? sekarang keluar dulu."

Tak ada sahutan dari dalam, Tiara sampai menempelkan telinganya untuk memastikan karena benar-benar senyap, "Astaga anak ini, Romero. Bunda minta kamu keluar sekarang."

"Nyonya, bagaimana kalau Nyonya telfon Non Cia, saya khawatir Tuan Muda kenapa-napa didalam sebab tadi saya denger banyak pecahan kaca," Bi Jena menghampiri dengan wajah penuh khawatir.

"Bibi benar, sebaiknya aku minta Bricia buat akhirin hukumannya," Tiara mengangguk mulai beranjak pergi sembari membuka ponselnya menghubungi gadis itu.

Sementara didalam Romero dengan piyama tidur putih polosnya duduk memeluk lututnya memepet ke sandaran kasur, berkali-kali juga ia mencium dan menghirup sapu tangan dengan jaitan bunga lavender.

"Cia, kapan Cia maafin Rome. Rome minta maaf udah nyakitin Cia lagi semuanya salah Rome," mata yang dilingkari kehitaman karena tak tidur itu kembali meredup dengan buliran liquid bening meluncur bebas dikedua pipinya, "Rome juga gamau lakuin semua ini, tapi hidup Rome terkadang masih dikendaliin alurnya Cia, Rome harus apa buat hindarin semua kesialan ini? Rome cinta banget sama Cia, cuma sama Cia."

Romero mendonggak sembari memejam menekan matanya yang terasa perih bahkan isakan yang membuat jakunnya bergerak bak terkena cegukan, "Bunga kehidupan, Rome gabisa pergi dengan tenang tanpa Cia, biarin Rome nebus dosa Rome dulu, tolong jangan gugur lagi pertahanin beberapa kelopaknya."

Dikecup nya sapu tangan yang masih ia genggam, kasur yang ditempatinya sudah berantakan bahkan bantal, seprei dan selimut berjatuhan ke lantai, tak hanya itu banyak bingkai yang pecah dan meja rias terbalik di sudut kamar jauh dari tempatnya.

"Bagaimana keadaan Cia sekarang," Romero bertanya pada pikirannya lewat tatapan kosong, "Berhenti! berhenti menyuruhku untuk membunuh mahluk sialan!!! aku bukan pembunuh!"

Kau pembunuh Romero, ingatlah ... seribu nyawa, mari bunuh lebih banyak lagi ... mereka tak akan mati Romero ... mereka akan kembali ...

"Engga, gue gamau! gue mau sama Cia lebih lama gue gamau bunuh mereka lagi!" Romero mencengkram telinganya, menutupnya kuat dari suara-suara itu dengan gelengan ribut.

Cia mu, mereka menginginkan gadis itu ... abaikan bunga kehidupan jika membuatmu yang haus darah akan lebih menyenangkan ... percayalah, dengan membunuh tak akan membuat kelopaknya gugur semua larangan itu hanya bualan Romero!

"Aaarrrgghhh gue gamau bangsat!!!" Romero mencengkram leher kabut hitam didepannya lantas menindih nya bersiap melayangkan pukulan jika saja mahluk itu tidak menghilang menyisakan asap yang mengudara, "Godaan setan sialan."

Bibir Romero tertekuk ke bawah lalu ia turun dari atas kasur meraih boneka chibi miliknya dan Bricia yang tergeletak di lantai kembali ke atas kasur.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Bricia's world Where stories live. Discover now