Bricia 31🔮

11.7K 1.4K 104
                                    

H̤̮a̤̮p̤̮p̤̮y̤̮ R̤̮e̤̮a̤̮d̤̮i̤̮n̤̮g̤̮!̤̮


●○●○●○●○








Seperti biasa diruangan dengan lampu temaram nya Romero yang hanya memakai singlet putih tampak memasukkan foto polaroid yang baru ia cetak kedalam air, senyuman simpul akan rasa puas timbul kala perlahan-lahan foto itu menampilkan wajah cantik dari seorang gadis yang dicintainya.

"Cantik, bagaimana bisa dia secantik ini," Punggungnya menegak meneliti wajah Bricia didalam foto, "Aku menerima semua konsekuensinya, jika hidupku seluruhnya aku gantungkan padamu. Maaf, maaf atas semua kebodohanku."

Romero menggantung secarik kertas foto itu dibawah lampu neon menggunakan capitan agar kering, foto itu berjejer bersama belasan foto dari Bricia yang lain.

Langkahnya kemudian terayun menuju sebuah lemari, dibukanya lemari itu lantas meraih sebuah hiasan mawar yang dilindungi oleh kaca yang indah, "Hanya tinggal delapan belas kelopak yang tersisa, waktuku sangat sedikit jika tidak kugunakan untuk menghabiskan semuanya bersama Bricia, betapa aku berharap kutukan ini menghilang dan hidup menjadi tokoh nyata seperti mereka."

Romero usap kaca bening tersebut dengan kepala memiring menatapnya teduh, tak lama matanya terpejam dengan helaan nafas, "Tapi semuanya mustahil, kalian adalah jiwa-jiwa dari dunia nyata."

Kening Romero mengerut kala merasakan dingin pada bunga yang dipegangnya, matanya sontak terbuka lebar saat melihat kelopak merah disana berubah jadi hitam perlahan-lahan yang mana membuat Romero diliputi fikiran negatif.

"Cia," dirinya bergumam lirih sebelum meninggalkan bunga tersebut di lantai dan berlari keluar.

Didalam kamarnya tanpa kata Romero menyambar kaos miliknya diatas kasur lalu berlari bak orang kesetanan keluar Mansion.

Digedung tempat musium itu didirikan tak ada seorang pun yang tau jika didalam tengah terjadi kekacauan besar yang diperbuat para perampok bersenjata.

"Lepas bangsat gue bisa jalan sendiri! Jangan berani lo nyentuh kulit mulus gue!" Glenka berontak berbalik menunjuk wajah pria sialan dibelakangnya, "Gue bakal laporin lo--Akh!"

"Glenka!" Cici bergerak membantu gadis yang baru saja didorong kasar itu.

Mereka kini tengah disekap digudang bersama-sama, "Serahin ponsel lo semua! Gue gak segan tembak kalian satu persatu kalau kalian berani telfon polisi!"

Aira terkejut saat ponsel di genggamannya yang dipakai untuk menghubungi Arthur dirampas, rahang gadis itu di cengkram kuat, "Kayaknya lo emang bosen hidup, siapa yang mau lo hubungi? Oh, tunangan lo?"

"E--enggak, lepasin aku Om aku mohon lepasin--"

Ponselnya dijatuhkan ke lantai disusul tembakan yang mampu membuat semua murid dan guru disana menutup telinganya takut, "Buat apa lepasin lo semua? Dengar kalian bakal mati disini! Gue gak main-main! Serahin ponsel lo semua!!!"

Cici dan Glenka mengangkat tangannya mundur begitupun yang lain, Justin bergerak mendekati mereka, "Gue punya ide buat ngelabuin mereka, setelah dapet satu senjata dari salah satunya."

"Lo gila? Itu berarti kita buat nyawa yang lain juga terancam ditembak," balas Cici berbisik.

"Kita gapunya pilihan, lo milih salah satunya yang mati atau semua orang disini mati? Ikutin rencana gue," Justin berbisik ditelinga Cici yang mana membuat gadis itu terbelalak memegang tangannya, "Percaya gue gaakan kenapa-napa."

"Gak Jus, gue gak mau ngorbanin lo. Kita tunggu bantuan datang gue yakin kita semua selamat," tolak Cici menggeleng ribut, bagaimana bisa pria itu mengorbankan dirinya pada mereka, "Tunggu bantuan datang, kita bakal selamat."

Bricia's world Onde as histórias ganham vida. Descobre agora