Hello, How Are You?

36 0 0
                                    

Hello, How Are You?

Efek denger lagu ‘Hello, How Are You’-nya Shounen-T berkali-kali. Ini random banget, saya sendiri ga tau saya nulis apa.

—————-

Halo, apa kabar?

Aku selalu ingin mengatakan itu padamu, tapi tiap kali kau berjarak tiga meter di dekatku, lidahku akan terasa kelu dan aku berakhir tak mengucapkan apapun sampai kau berlalu melewatiku. Kalau aku benar-benar mengucapkannya, bagaimana reaksimu? Mungkin kau akan merasa aneh, karena barusan itu ucapan yang kelewat formal untuk kita yang sudah sekelas selama sepuluh bulan. Tapi aku benar-benar ingin menanyakan itu padamu. Karena tiap kali kau berangkat ke sekolah, aku bisa melihatmu melalui jendela kamarku, dan aku akan melihatmu menghembuskan nafas berat. Wajahmu terlihat begitu sedih, sedih sekali, padahal kau selalu tersenyum ceria di dalam kelas. Aku selalu ingin tahu, kenapa kau menunjukkan wajah demikian saat kau melewati rumahku—saat kau pikir tak ada orang yang melihatmu?

Mungkin kau sendiri tak tahu bagaimana aku selalu bangun pagi, bersiap-siap dua jam sebelum sekolah dimulai hanya agar aku tidak terlambat untuk melihatmu berjalan melewati rumahku melalui jendela kamarku. Setiap hari aku selalu menyusun skenario yang baik, bagaimana agar aku bisa menyapamu dengan kasual. Sebenarnya mudah sekali, aku hanya perlu membuka jendela kamarku, bersikap seolah kebetulan melihatmu lewat—bukannya menunggumu, lalu menyapa dan mengucapkan selamat pagi. Tapi kesempatan itu selalu hilang karena kau sudah pergi sebelum aku sempat membuka jendela.

Sayangnya, hari ini aku sedikit terlambat bangun. Aku segera mandi, berharap kau belum melewati rumahku sampai aku selesai mandi nanti. Sialnya, tepat setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku menyadari kau baru saja melewati rumahku. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melihatmu barang satu hari saja, maka aku segera bergegas, berlari keluar rumah tanpa berpikir panjang. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan kulakukan atau kukatakan kalau kita bertemu nanti, tapi kakiku seolah bergerak dengan sendirinya.

Dan di tikungan itu, tepat setelah aku berbelok setelah keluar dari gerbang rumahku, aku menabrak sesuatu—tiang listrik, aku lupa keberadaan tiang menjulang itu bahkan walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di situ. Dan tepat di depan tiang listrik yang kutabrak ada kau. Yang sudah pasti langsung menoleh mendengar suara tabrakan keras di belakangmu.

Wajah sedih yang terpasang di atas wajahmu berubah menjadi  ekspresi heran. Aku merasakan jantungku berdebar, dan dengan gugup, kata itu segera keluar dari mulutku.

“…Halo.”

Suaraku pasti terdengar memalukan. Kau masih tampak bingung, dan kutambahkan setelahnya, “Apa kabar?”

Ia masih terdiam. Lalu senyum tipis mulai terbit di atas bibirnya, dan ia tertawa. Tawa lepas, jenis tawa yang sedikit berbeda dengan tawa yang ia berikan di dalam kelas. Tawa yang ini apa adanya, ia tampak sangat cantik seperti itu. Aku tersenyum canggung, segera ikut tertawa bersamanya.

“Baik. Kau sendiri? Pasti sakit.”

Ia merespon, mengulurkan tangannya padaku yang masih dalam keadaan tersungkur di atas permukaan jalan. Aku menelan ludah gugup saat menerima uluran tangannya. “Aku baik-baik saja. Tapi kau—,” Aku tidak tahu apa yang ada di otakku saat mengucapkan itu, tapi aku tak bisa berhenti. “—Kau tidak terlihat baik-baik saja. Setiap pagi, kau akan memasang wajah sedih seperti… tadi.”

Senyum di atas bibirnya memudar, ia tampak bingung. Matanya yang bulat menatapku.

“Maaf, aku, eh.” Aku bingung bagaimana memulainya. “Maaf. Aku melihatmu lewat rumahku setiap pagi, dan wajahmu terlihat begitu… sedih.”

Ia masih terdiam.

“Aku tahu ini bukan urusanku. Bukan aku ingin ikut campur, tapi, uhh,” Aku berharap ada lubang kelinci terdekat untuk membenamkan wajahku di sini. “Itu selalu mengganggu pikiranku. Aku selalu, selalu memperhatikanmu.”’

Ia belum mengatakan apapun, masih terdiam.

“Bolehkah aku bertanya ‘kenapa’? Kau tidak perlu menjawabnya kalau tidak mau, tentu saja!”

Di luar dugaan, ia kembali tersenyum. Hanya saja, kali ini, ada setetes air yang jatuh pada pelupuk matanya. Kemudian ia merenggut lengan seragamku, membenamkan wajahnya di sana dan… menangis. Ia terisak, air matanya membasahi seragam sekolahku, dan dalam beberapa menit ke depan, kubiarkan ia seperti itu.

“Aku tidak baik-baik saja.” Ia berbisik diantara tangisnya, “Tidak pernah baik-baik saja. Tidak pernah.”

Ia meneruskan tangisannya. Pada akhirnya, ia mengendurkan sedikit cengkeraman pada lenganku, dan kali ini mengucap lirih,

“…Terima kasih.”

Ia mengangkat wajahnya yang kini memerah akibat menangis, senyum bergantung pada bibirnya.

“Terima kasih sudah memperhatikanku. Terima kasih sudah tahu aku tidak baik-baik saja.”

Aku merasa wajahku memanas, lidahku kembali kelu, jadi aku hanya bisa mengangguk.

Senyumnya barusan adalah senyumnya yang paling cantik dari senyum-senyum lain yang pernah kulihat.

[END…?]

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 16, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Hello, How Are You?Where stories live. Discover now