Chapter 1

3 0 0
                                    

       

"Wina!" gadis itu berteriak kearah sosok familiar yang baru saja melangkah keluar dari Plaza Mahasiswa. Angin yang cukup kencang pagi itu menerbangkan rambutnya yang terurai.

Gadis yang dipanggil menoleh sambil melayangkan ujung tajam sedotan kearah Thai Tea nya yang masih tersegel. "loh Marsa, gue kira lo dah dikelas."

"belom, macet tadi. Eh tunggu-tunggu, lo tadi liat Teh Tarik yang rasa cokelat nggak?"

"masih ada tuh, tinggal sebiji. Buruan!"

Marsa langsung ngebut mendorong pintu Plaza terbuka dan menyambar satu-satunya Teh Tarik rasa cokelat yang tersisa di mesin pendingin. Dia merogoh kantongnya dan menarik selembar Rp. 10.000.

"kembaliannya simpen dulu, gue ntar juga jajan disini lagi." gadis itu berpesan kepada 2 gadis magang yang berjaga dibelakang meja.

Marsa dan Wina berjalan menuju kelas mereka di lantai 2, sembari mengobrol tentang tugas Extensive Reading yang harus dikumpulkan besok. Pagi itu mendung. Dingin, seperti kesukaan Marsa.

"gue kemaren liat Rosa boncengan sama cowok. Anak basket." Bisik Marsa ketika dia melihat Rosa memasuki kelas.

"sumpah?" Mata Wina melebar. "bukannya dia baru putus... kapan? Beberapa hari yang lalu?"

Marsa mengangkat bahu. "kayak lo nggak tau sifatnya aja."

Wina terkikik.

Pukul 7 tepat, dosen mereka datang. Dan seperti biasa, kelasnya sama membosankannya seperti kemarin-kemarin. Marsa berkali-kali menguap, melirik Wina yang menumpukan dagunya di telapak tangan, membelakangi meja dosen. Rambut panjangnya tergerai menutupi sebelah wajahnya yang terekspose. Gaya Tidur Ala Wina, sahabatnya itu menyebutnya.

Menghela nafas, Marsa menarik keluar ponselnya dari saku. 0 notification. Seperti biasa. Walaupun sudah berlangsung selama beberapa hari, tetapi tidak melihat namanya di lockscreen nya masih membuat dada Marsa serasa ditekan, seperti oksigen tidak masuk kedalam paru-parunya. Dia penasaran sampai kapan dia harus merasa seperti ini. Dia tidak sabar menunggu hari dimana dia tidak perlu mencemaskan cowok itu lagi. Cowok yang jelas-jelas meninggalkannya untuk cewek lain.

"muka lo kusut." Bisik Nirina yang duduk disamping kanannya. "kenapa?"

"nggak, Cuma ngantuk." Marsa tersenyum.

Setelah 2 matkul (yang membosankan), Marsa dan Wina buru-buru keluar kelas untuk mencari makan. Perut Marsa sudah seperti diperas, memohon-mohon agar segera diisi.

"lo mau makan ap—"

"kantin ya." Sambar Marsa.

Wina menyipitkan mata kearah sahabatnya, jelas-jelas mengerti mengapa Marsa begitu semangat makan di kantin. Ini hari Senin.

"gue kan dah pernah bila—"

"Cuma ngeliat doesn't hurt anybody, kan?" Marsa nyengir. "yuk!"

Wina hanya bisa geleng-geleng ketika Marsa menyeretnya kearah kantin.  Kantin Sastra, begitulah tulisannya, tetapi digabungkan juga dengan kantin fakultas ilmu sosial karena lahannya besar. Dan pukul 10.30 begini, kantin tidak seramai jam makan siang. Hanya ada segelintir orang, tetapi Marsa sangat hafal dengan salah satu dari belasan orang tersebut.

Kafka Rumi selalu duduk dengan teman-teman se-fakultas hukumnya, dimeja paling besar yang ada di kantin. Dia biasanya membeli es cokelat, large cup. Kadang dia merokok, kadang dia menggantinya dengan permen. Dia bukan yang paling heboh di gerombolannya, lebih sering tertawa dan melontarkan komentar-komentar kecil.

Marsa ingat betul saat pertama kali dia melihat Rumi. Hari pertama OSPEK, sambil berlarian karena panitia yang cerewet sudah berkoar-koar lewat pengeras suara bahwa gerbang akan ditutup sebentar lagi. Marsa benci lari, apalagi ketika dia sedang mengenakan rok span hitam panjang. Mengabaikan teriakan dibelakangnya, gadis itu memilih berjalan cepat saja.

Lalu tiba-tiba, seseorang berjalan disebelahnya. Parfumnya wangi lemon dan dia sangat tinggi. Marsa menoleh. Dia hampir tersedak karena cowok disebelahnya sangat ganteng. Cowok itu juga menoleh.

Mereka bertatapan selama 5 detik, sebelum akhirnya cowok itu berlari lagi.

Tatapan-lima-detik itu membuat Marsa penasaran. Dia melihat cowok itu lagi beberapa kali saat OSPEK, tetapi tidak pernah punya keberanian untuk mengajak bicara. Sampai akhirnya dia berkenalan dengan Dea.

"gue liat cowok ganteng parah, sampe mau pingsan rasanya." Kata Marsa setelah penutupan OSPEK dan mereka sedang berjalan keluar dari gedung.

"hah? Siapa?"

"nggak tau, tapi ganteng. Pake banget." Marsa memicingkan mata untuk menahan sinar matahari yang silau. Pandangannya menyapu trotoar kampus dan dia melihat sosok familiar yang sedang dibicarakan.

Marsa buru-buru menarik Dea minggir dan berbisik, "itu! Itu! Yang pake tas biru!"

"yang manaaa..."

"Ya lord, Dey, yang itu! Yang putih! Tas biru! Deketnya pohon! Yang lagi mainan HP! Tuh, tuh!"

Sejenak pandangan Dea mencari disekitaran daerah yang dimaksud Marsa. Gadis itu jadi gemas sendiri melihatnya.

"maksud lo... Rumi?"

"Rumi siapa?"

"ya cowok yang lo maksud. Tas biru, rambut rada cokelat, yang putih."

"namanya Rumi?" Marsa menoleh kearah Dea.

Gadis itu mengangguk. "dia mah satu SMA sama gue."

"serius lo?" Marsa melongo.

Dea mengangguk, menggamit lengan Marsa lagi untuk lanjut jalan.

"namanya Rumi Kafka. Kalo lo naksir dia, mending cepetan lupain. Percuma."

Dostali jste se na konec publikovaných kapitol.

⏰ Poslední aktualizace: Nov 13, 2017 ⏰

Přidej si tento příběh do své knihovny, abys byl/a informován/a o nových kapitolách!

Cups of RumiKde žijí příběhy. Začni objevovat