Sebuah Surat yang Tak Pernah Dikirim

227 7 0
                                    

Halo, apa kabar?

Sebetulnya Aku tidak mengharapkan jawaban, Aku bisa lari terbirit-birit jika pertanyaanku betul-betul dijawab. Tapi sepertinya begitulah sebuah surat di mulai 'kan?

Sulit rasanya untuk memulai surat ini. Selain karena terasa aneh berbincang melalui sepucuk surat, juga karena tidak tahu apa yang sebaiknya di ceritakan. Baiklah, kita mulai saja.

Banyak hal berubah sejak saat itu, Pa.

Setelah Papa pergi, semuanya kacau. Mama rapuh, Adik tidak diperhatikan oleh siapapun, dan Aku harus menjadi penyambung antara Adik dan Mama yang tidak akur, meski Aku sendiri tidak akur dengan Mama. Hal gila ini berlangsung hingga 6 bulan, setelahnya segalanya berangsur baik.

Kami tiba-tiba melihat sisi baik Mama, melihat bahwa sebenarnya Mama tidak terlalu kaku, tidak juga terlalu serius. Mama bahkan bisa akrab dengan teman-teman kami. Yah, intinya tiba-tiba kami bisa melihat Mama dari sisi yang berbeda.

Satu tahun setelah Papa pergi, banyak hal gila terjadi.

Aku masuk kuliah, Adik masuk SMP. Aku tidak bisa membayangkan biaya yang harus dikeluarkan, sehingga Aku mengganti jurusan pilihanku menjadi jurusan yang biayanya lebih terjangkau. Untungnya Aku berhasil diterima di sebuah kampus yang membanggakan. Adik tidak terlalu beruntung, nilainya turun sejak Papa pergi, sehingga dia harus memasuki SMP yang tidak begitu bagus. Tapi itu toh bukan masalah.

Setelah kuliah, Aku tinggal di kos. Sudah sejak lama Aku ingin tinggal sendiri, dan Aku benar-benar senang tinggal sendiri. Mama tinggal dengan Adik dirumah. Mama kerja setiap hari, sehingga Adik harus hidup sendirian setiap harinya. Namun kupikir ini cara yang sangat baik untuk mendewasakan dia, berhubung selama ini seluruh hidupnya seakan-akan disokong oleh Papa. Kondisi ini berjalan terus hingga kira-kira 4 tahun.

Setelah 4 tahun, keadaan sudah berubah lagi. Adik sudah SMA kelas satu, Aku sudah di semester akhir, dan Mama sudah pensiun. Jadi Mama dan Adik berdua sepanjang hari, sedangkan Aku masih tinggal di kos.

Tunggu sebentar, sepertinya bagian inilah yang akan kuceritakan.

Papa pasti tau bahwa Aku dan Adik tidak akrab dengan Mama, bahkan sejak kami kecil. Ketika Papa pergi, Aku sama sekali tidak tahu bagaimana Aku bisa menjalani hidup dengan Mama, tanpa ada Papa yang bisa jadi penenangku. Terlebih, sebagai anak sulung, Aku harus bisa menjadi penengah antara Mama dan Adik. Terus terang saja, ini luar biasa sulit.

Namun yang paling sulit adalah ketika Mama pensiun. Di sisi lain, senang akhirnya bisa melihat Mama ada dirumah setiap hari, masak untuk anak-anaknya layaknya seorang ibu rumah tangga. Namun di sisi lain, kami merasakan emosi yang campur aduk, marah, takut, sebal. Kami tidak suka harus berada 24 jam dengan Mama dirumah. Terutama Adik. Sekali ini Aku bersyukur Aku tinggal di kos.

Aku sendiri memiliki perasaan lain, Aku merasa buruk karena masih memiliki perasaan benci itu setelah 5 tahun berusaha memperbaiki hubungan dengan Mama. Kami bisa mengobrol, kami bisa bercanda, tapi kami tidak akan bisa lebih dekat dari itu. Mama bukan Papa, tidak akan pernah bisa menjadi Papa.

Aku dan Adik tidak bisa berbohong, hingga hari ini kami masih sering membicarakan Papa ketika sedang mengobrol santai, bahwa mungkin akan lebih baik jika Papa masih disini. Namun yang paling sering kami bicarakan sebagai kakak Adik adalah betapa kami tidak menyukai Mama.

Ironis, ya?

Namun ini semua terjadi sebelum pandemi. Oh ya, sekadar informasi, seluruh dunia sedang mengalami pandemi saat ini. Aku bersyukur Papa tidak perlu merasakan ini.

Sebuah Surat yang Tak Pernah DikirimWhere stories live. Discover now