Pemuda itu, siapa?

Mulai dari awal
                                    

Iya, aku yang saat itu tak bisa berpikir apa-apa, lantas teringat mama Ratna yang bertugas sebagai perawat di rumah sakit tersebut, guna mengabarkan perihal ibun yang sudah tak sadarkan diri, hingga sampailah aku di sini. Di depan ruangan dengan pintu lebar berwarna putih, menantikan siapa saja yang keluar dari sana membawa kabar perihal ibun dengan harap baik-baik saja, dan tak ada yang perlu di khawatirkan, meskipun sejujurnya isi kepalaku senantiasa harap-harap cemas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

“Papa juga sudah kasih izin ke Mama, bahkan papa mu itu yang nyuruh Mama untuk secepatnya bawa kamu sama ibun keluar dari rumah itu.” Mama Ratna kembali membuka suara selepas hening beberapa saat yang terjadi diantara kami. Sementara aku menggeleng, dengan kedua tanganku yang saling bertaut.

“Ibun nggak akan mau Lea ajak pindah, Ma. Ibun selalu nolak ajakan Lea, sebab katanya kasihan kalau ayah sendirian di rumah itu.” Aku berujar dengan nada setenang mungkin, menghiraukan jawaban ibun yang senantiasa teringat setiap aku ajak untuk keluar dari rumah.

Sementara mama Ratna menghela napas, tangan kanannya menyapu halus rambutku dengan tempo pelan. Aku yakin, untuk saat ini mama Ratna pasti sedang menahan kesal dalam hatinya, mengingat aku yang sama keras kepalanya dengan ibun. Tapi mau bagaimana lagi, semua keputusan ada di tangan ibun. Ibun yang memegang kendali atas jalanku ke depannya. Tak bisa ku pungkiri bahwa aku juga ingin, bahkan sangat-sangat ingin untuk keluar dari rumah itu, tapi kembali lagi, perintah ibun adalah yang paling utama buatku.

“Yaya bilang semua keputusan ditangan ibun kan, jadi Mama yang akan bicara pada ibun nanti. Kamu nggak boleh protes, mau bagaimanapun caranya, Mama yang akan paksa kalian berdua untukk tinggal sama Mama. Titik.”

Mama Ratna bertitah dengan sungguh, seolah mengisyaratkan kepadaku untuk tidak membantah ucapannya kali ini.

“Soal ayah, biar papamu yang urus.” Mendengar ucapan mama Ratna, aku hanya mengangguk lemah sebagai finalnya, enggan berpikir lebih panjang perihal penolakan yang sama.

“Kalau gitu, kamu cuci muka dulu, mama mau urus administrasi ibun dan cari sesuatu untuk isi perut.” Aku kembali mengangguk, lantas kami berdua serentak berdiri dan berjalan ke arah yang berlawanan.

Dan kini aku tengah menatap seraut wajah dengan mata merah, pipi bengkak juga rambut yang tak beraturan pada cermin yang berembun. Ck, bahkan cerminpun enggan untuk menerima pantulan wajahku dengan baik. Apakah aku benar-benar sehancur itu?

Mengingat di dalam sana kondisi ibun yang aku sendiri tak tahu bagaimana, meskipun aku yakin, bahwa dokter juga perawat di dalamnya pasti akan berusaha sebisa mungkin guna menyelamatkan ibun. Tapi kembali, hati anak mana yang tak hancur, merasakan dinginnya tubuh sang ibu dalam pelukan dalam keadaan tak sadarkan diri selama perjalanan ke rumah sakit.

Aku takut, sangat-amat takut. Aku takut ibun menyerah, aku takut ibun memilih untuk pergi meninggalkan aku yang sendirian. Tidak, aku bukannya berharap itu semua terjadi, hanya saja, segala kemungkinan terburuk mungkin saja bisa terjadi, kan?

Memikirkan segala kemungkinan yang sebenarnya enggan aku pikirkan, membuat tubuhku luruh menjumpai dinginnya ubin sewarna kapas rumah sakit. Lantainya dingin, ditambah hawa yang juga dingin, aku menyampaikan keluhan kepada semesta.

“Ibun, Lea capek! Lea nggak bisa berdiri lagi, bun, tolong Lea. Tolong Lea, bun. Lea hancur.”

Berteriak dengan sisa tenaga yang ada, menjadi pilihanku guna melepas resah tanpa peduli akan ada manusia lain yang mendengarkan keluhanku. Lagipula, sekarang pukul tiga dini hari. Mana ada pasien ataupun keluarga yang berkunjung ke toilet pagi buta seperti ini? Mustahil.

Aku berdiri, berusaha kembali menarik sadar dengan air yang kubasuhkan pada wajah secara kasar. Aku melenggang pergi, meninggalkan toilet dengan perasaan yang masih menyimpan resah.

Kakiku menapak tangga abu-abu menuju rooftop rumah sakit, dan sejurus kemudian semilir angin dini hari menyambutku, di barengi oleh penampakan lampu berpijar yang berasal dari gedung-gedung yang ada di sekitar rumah sakit. Ternyata rumah sakit memiliki sisi indah  seperti ini.

Aku menyeret langkah mendekati tepian rooftop, terus melangkah sampai tanganku berhasil meraih besi pengaman yang ada. Dari sini, aku dapat melihat secara lebih pemandangan yang menakjubkan. Indah sekali. Sedangkan di atas kepalaku langit menampilkan parade bintang menakjubkan.

Dari ujung ke ujung titik-titik putih itu terlihat bersinar dengan bahagia, tanpa menampilkan rasa tidak terimanya sebab di haruskan berjaga sepanjang malam.

“Bun, Lea bahagia sudah berhasil tumbuh dalam rahim ibun. Lea bahagia sudah berhasil tumbuh menjadi putri kesayangan ibun. Dan, Lea bahagia sampai sejauh ini ibun masih menganggap Lea sebagai anugerah yang ibun miliki. Tapi untuk kali ini, Lea benci menjadi sumber derita untuk ibun. Lea minta maaf, bun. Untuk menyampaikan maaf secara langsung, Lea nggak sanggup, bun. Lea minta maaf.”

Aku menunduk, berusaha menarik napas sekuat mungkin sebelum tanganku mulai menggenggam dengan erat besi pembatas yang sedari tadi menjadi peganganku.

Aku lelah, dan untuk saat ini aku pasrah. Mungkin jikalau aku tiada, maka sumber derita ibunpun akan lenyap. Dan disaat aku merasakan tubuhku mulai ringan, suara berat yang menyapa runguku berhasil menarik sadar yang tadinya sempat aku lupa.

“Kalau mau pergi, pamit sendiri ke nyokap lo. Jangan biarin beliau kelimpungan nyariin anaknya yang merupakan seorang pengecut, karna rooftop rumah sakit dijadikan tempat pilihan untuk bunuh diri.”

Suara berat itu, berasal dari belakangku. Ketika kuputar tubuh 180 derajat, aku menemukan seorang pemuda yang di balut dengan hoodie berwarna hijau tua. Di tangannya terdapat botol minuman yang ku taksir sebagai kopi jika kulihat dari warnanya.

“Kalau mau bunuh diri, cari tempat lain. Jangan rumah sakit lo jadiin pilihan, kasihan orang-orang yang besoknya bakalan sibuk cuma buat ngurusin mayat lo yang hancur di bawah sana.”

Selepas berucap dengan nada sarkas, pemuda itu memutar tubuh, meninggalkan aku yang masih sibuk mencerna kata demi kata yang diucapkannya, membawa tubuhnya menghilang di balik pintu besi berwarna merah di depanku.

Pemuda itu, siapa?

-----

Hola!

Gimana, gimana, baik kan kabarnya pada dini hari ini? Pasti dong, harus!

Ok, Enra kembali muncul ke permukaan setelah sekian lama mengumpulkan niat buat bawa bagian terbaru. Maka dari itu, terbitlah bagian, bagian sebelas kan, ini? Hehe, lupa.

Udah deh, males basa-basi.
Doa Enra, semoga kalian semua sehat ya. Mengingat virus jahat ini masih aja betah menetap di Indonesia, padahal sudah berkali-kali diusir sekuat tenaga.
Pakai masker, jaga jarak dan olahraga ya. Jalan santai keliling ruang keluarga nggakpapa, toh juga namanya jalan santai.

Ok deh, see u kapan-kapan lagi, ya!

Salam sayang, Enra.

Adiós!

Dear LeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang