Ara tertegun, bersamaan dengan jantung yang semakin berdegup sangat kencang. Keringatnya semakin membasahi tubuhnya. Nafasnya yang mulai tercekat ikut andil membuatnya semakin terkejut.

"Kenapa? Kamu baru sadar bahwa wajah aku itu lebih cantik daripada kamu, iya?"

Wanita itu menyeringai. Tangan nya mluai mengelus pipi Ara. Lalu beralih mengusap rambut Ara yang mulai berantakan.

"Ayolah, bicara denganku Ara..."

Perlahan, usapan lembut di rambut Ara, berubah menjadi sebuah jambakan yang membuat rambut Ara seperti ingin lepas dari kepalanya.

"LWEPWASI!" Ara kembali memberontak. Air matanya mulai turun membasahi pipinya.

"Ssst, tenang Ara. Aku tidak akan melukai mu..."

Wanita itu meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Menginstrupsi Ara untuk diam dan tenang. Ia tersenyum singkat, lalu kembali mengusap rambut Ara perlahan. Ia menatap Ara sangat dalam, sorot matanya menandakan kebencian.

"Aku hanya akan bermain-main dengan mu sebentar. Sudah lama kan kita tidak bermain bersama?" seringai itu kembali terbit di wajah wanita itu.

"LWEPAS! LWEPAS! LWEPAS!" berontak Ara agar wanita itu membuka ikatan tangan nya.

"Ssst, sudah ku bilang jangan berisik. Nanti ada yang datang..." ancam nya sembari menjambak rambut Ara sangat kencang.

Ara tak peduli, ia semakin memberontak. Bahkan karena terlalu keras nya Ara memberontak, dirinya bersama bangku yang ia duduki sejak lama terjatuh ke samping. Ara meringis, ia jatuh dalam keadaan tangan yang masih terikat.

"Tuhkan jatuh... Ini salah kamu sendiri loh ya, jadi gak akan aku bantu," kekeh wanita itu.

Ara hanya bisa menangis, sembari terus merapalkam doa kepada tuhan agar membantunya. Namun, rasa sakitnya bertambah saat wanita itu sengaja menginjak tubuhnya dengan sepatu higheels nya.

Sakit, sangat sakit. Sekujur tubuhnya sangat perih saat wanita itu mulai menginjak tangan, kaki, paha dan perutnya.

"Jangan nangis Ara, ini baru permulaan."

Wanita itu berjongkok di samping Ara, lalu terkekeh. "Aku sangat senang, bisa bermain-main dengan mu lagi, Ara."

Ara menggeleng, kembali berusaha membuka ikatan tangan nya, kakinya pun ikut memberontak.

"Ah, sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan padaku, ya?"

Wanita itu mengangguk, lalu tangan nya mendekat ke arah kain di bibir Ara. Wabita itu membuka ikatan nya dan membiarkan kain di mulut Ara terlepas.

Ia kemudian tersenyum. "Nah, sekarang kamu bisa bicara, Ara."

Ara mengatur napasnya yang tidak stabil. Lalu mulai berbicara, "Melati, lepasin gue..."

"LEPASIN? LO BILANG LEPASIN? GAK SEMUDAH ITU ARA!" bentaknya.

"Kenapa? Kenapa lo nyekap gue di sini? Kenapa lo tega mgelakuin ini sama gue? Apa salah gue, Melati?!" tanya Ara lirih.

Dirinya tidak menyangka bahwa yang melakukan semua ini adalah sahabatnya sendiri. Tidak, bahkan lebih dari itu. Ara sudah menganggap Melati seperti saudara nya sendiri.

"Lo tanya salah lo apa? Iya?!" bentak Melati lagi.

Ia mendorong Ara dan juga kursi yang terikat pada tubuh Ara itu dengan sangat kencang. Membuat tubuh Ara dan kursi itu membentur dinding tembok. Membuat sebagian temboknya hancur.

Ara meringis, bagian kepalanya yang lebih dulu membentur tembok. Darah segar itu mengalir dari dahinya dan mengenai matanya. Ara menutup mata, membiarkan darah itu mengalir sampai lehernya.

Gifara [END]Where stories live. Discover now