"Mama kenapa?"
Sambil menangis, yang ditanya segera menjawab. "Tadi aku lagi ngobrol sama Mama, tiba-tiba dia kesakitan sambil megang kepalanya. Aku panik, jadi aku hubungin kamu setelah bilang ke dokter."
"Lalu kondisi Mama?" tanya Rafael semakin panik.
"Sedang ditangani oleh dokter. Kamu tenang dulu." Soraya menarik laki-lakinya untuk duduk bersama, menepuk-nepuk bahu Rafael mencoba menyalurkan kekuatan walau sebenarnya dia juga takut.
Jika dihitung ini sudah lebih dari sepuluh menit sejak sang dokter datang. Namun, pria dengan profesi yang katanya paling mulia itu masih belum saja keluar, seolah detik tak bergerak.
Rafael berharap cemas di kursi tunggu. Akalnya tidak dapat berpikir dengan benar, semuanya dipenuhi oleh berbagai macam prasangka mengingat kondisi ibundanya di dalam. Tanpa sadar air matanya menetes, tapi secepat kilat dia hapus sebelum si gadis melihat.
Namun, tanpa diketahui, Soraya melihat semua itu. Dia semakin mengeratkan rangkulannya pada bahu Rafael yang bergetar. Soraya sesak melihat semua ini, terlebih ketika melihat kekasihnya terisak tanpa suara. "Aku yakin mama kamu bisa melewati semuanya. Ayo kita berdoa yang terbaik buat mama kamu."
Akhirnya Rafael sudi untuk memperlihatkan bagaimana kacaunya dia. Tengok, matanya memerah dengan jejak air mata yang terlihat jelas di pipi. "Makasih, Dear."
Ceklek
Dengan perasaan yang semakin takut, Rafael berdiri menghadap sang dokter ketika pintu terbuka. "Bagaimana keadaan mama saya?"
Dokter itu tampak menghela napas, seolah sengaja mengulur waktu, sementara sepasang kekasih di hadapannya mati-matian melawan kegelisahan.
"Maaf, kami sudah mengusahakan yang terbaik tapi Tuhan lebih menyayangi—"
Belum selesai sang dokter bicara, Rafael langsung menerobos masuk, tidak peduli jika itu berarti dia harus menabrak dokter itu dahulu. Bahunya merosot sempurna melihat sosok ibunya dengan kulit pucat dan seorang suster yang tengah melepas semua alat bantu yang selama ini membantu ibunya bertahan. Saat sang suster hendak menutup wajah ibunya dengan kain putih, Rafael segera mencegahnya, menyuruh suster itu pergi.
"Mama jangan bercanda! Ayo bangun dan bermain dengan Rafael." Bibir Rafael bergetar saat menyentuh kulit ibunya yang tak lagi bernyawa.
"Rafael janji nggak akan keluyuran sampai malam, Rafael janji nggak ikut tawuran lagi. Mama bangun!" Rafael menepuk pipi Rini pelan.
"Mama. Selamat jalan, semoga Mama diterima di sisi Allah. Soraya janji bakal jaga Rafael baik-baik." Di belakang Rafael yang masih histeris, Soraya mengucapkan selamat tinggal sambil mengusap air matanya.
"Mama jangan bercanda kayak gini, ini nggak lucu tau. Mama bangun! Jangan buat Rafael takut." Rafael memeluk Mamanya untuk terakhir kali sebelum Soraya menyentuh bahunya.
"Rafael, ayo keluar! Biarkan mereka mengurus jenazah mama kamu," bisik Soraya. Dia menarik lengan Rafael dan mengajak pacarnya pergi.
"Lepas! Aku masih mau sama Mama!" Rafael menghentakkan tangan Soraya dan kembali menangis di dada Rini.
"Mas, mohon keluar. Kami akan mengurus jenazah ibu anda," kata perawat berusaha membuat Rafael pergi.
Tapi Rafael masih setia di tempatnya, menangisi sang ibu sambil mengatakan bahwa ini adalah bualan semata.
"Mari, Mas!" Perawat menepuk pundak Rafael dan menunjukkan pintu keluar.
"Saya ingin bersama Mama saya! Kalian kenapa menghalangi saya bertemu Mama saya?!" teriak Rafael jengkel.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAFAEL
Teen Fiction꧁꧇ FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA꧇꧂ Rafael Aditya, salah satu anak kesayangan semua guru. Sifatnya yang tegas membuat Rafael ditunjuk sebagai pemimpin di banyak hal. Materi dan kemewahan selalu mengikutinya. Namun, kejadian dimana dia kehilangan sebu...
46. MY ANGEL
Mulai dari awal