1. Three Werewolves

Mulai dari awal
                                    

"Pak minta waktunya sebentar." Pak Dirga mengangguk.

"Maaf mengganggu waktu belajarnya ya anak-anak"

"Iya bu"

"Kalian kedatangan teman baru dari salah satu SMA Bogor"

Benar tebakanku, mereka siswa pindahan. Mereka cukup tinggi dan juga sedikit tampan menurut pandanganku. Tapi aku memilih untuk diam. Tidak dengan dua teman didepanku, mereka tampak sangat--ya begitulah.

"Ayo silahkan perkenalkan diri kalian," titah bu Sari yang membawa mereka ke kelas ini.

"Perkenalkan nama saya Devan, ini ada dua saudara saya Roy dan Jackson. Saya harap, teman-teman semua nyaman dengan kehadiran kami di sini"

"Kalian kembar tiga? Kok gak mirip?" Salah satu siswa bertanya spontan.

"Udah udah, kalo mau tanya-tanya nanti aja kalo istirahat. Kalian silahkan duduk di tempat kosong di belakang Risa. Itu ada dua tempat. Sisanya duduk sama Risa. Gapapa kan Risa?" Bu Sari menunjuk kursi di belakangku kemudian meminta persetujuanku.

"Eh, iya Bu, gapapa," jawabku kaget yang mendapat tatapan tak suka dari teman-teman sekelasku.

"Yaudah, ibu tinggal ya. Pak Dirga, terimakasih atas waktunya"

"Sama-sama bu"

Bu Sari pun pergi menutup pintu kelas. Pak Dirga melanjutkan menulis di papan tulis. Tiga anak baru itu berjalan menuju tempat kosong di belakangku. Sepertinya salah satu dari mereka lupa jika di belakangku hanya untuk dua orang.

Sayup-sayup kudengar ada perdebatan kecil di antara mereka. Hingga salah satu di antara mereka mengambil tas yang ku letakkan di kursi yang berada di sampingku lalu melemparkannya padaku. Aku lupa untuk mengambil tasku tadi. Kemudian ia duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku hanya cengo melihatnya, mencoba mencerna apa yang barusan terjadi.

"Apa?"

"Eh?" Aku langsung meletakkan tasku di laci meja. Mengeluarkan buku catatan dan pulpen hitamku. Sedari tadi aku belum mengeluarkan buku tulis. Aku hanya mengeluarkan buku paket Matematika yang lumayan tebal.

Anak baru yang satu ini juga mengeluarkan bukunya. Ia duduk dengan tenang dan santai, menulis apa yang ditulis di papan tulis. Aku terlalu memperhatikannya. Anehnya, ia tak merasa jika aku tengah memperhatikannya sedari tadi.

"Risa! Kenapa kamu gak nulis?!"

"Ini lagi mau nulis, Pak," jawabku reflek lalu cepat-cepat menulis.

Pak Dirga menegurku dengan tatapan sinis dan suara beratnya. Aku tak menyadari jika Pak Dirga sudah di samping kursiku dengan tangan yang terlipat di depan dadanya.

×××

"Anak baru tadi ganteng banget. Siapa tadi namanya? Dev- Devan ya? Oh iya Devan. Tapi imutan yang sebelahnya tadi si Roy kalo gak salah, yang satunya juga ganteng," ujar Tia antusias dan cengar-cengir sendirian.

Jera tampak heran."Eh inget, Welang tuh mau dibuang kemana?"

"Hehehe" Tia hanya meringis menanggapi pertanyaan Jera tentang gebetannya.

"Hadehhh. kalian tu ya. Cowok aja yang dipikirin." Aku menyela pembicaraan mereka. Memilih untuk jalan lebih cepat karena perutku sudah meronta minta di isi. Pulang sekolah, hujan masih turun. Membiarkan dinginnya angin leluasa bertiup kemana-mana.

Not An Ordinary HumanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang