"Jangan mempermasalahkan hal yang tidak penting. Bagi eomma kau yang peling penting, Lalice-ya." Lagi-lagi Hye Kyo berhasil menebak isi pikiran Lalice. Dia beranjak berdiri, lalu memeluk erat putrinya tersebut.

Ketika Hye Kyo memeluknya, tiba-tiba Lalice teringat dengan pelukan yang diberikan oleh Rosé. Bahkan Lalice masih mengingat betapa hangatnya pelukan sang idol tersebut.

'Ternyata memang berbeda...'

***

Menurut Rosé, ruangan ini terlalu bersih meski telah ditinggal selama sepuluh tahun lamanya. Mungkin kakeknya itu sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan uang, sehingga dia menyewa beberapa maid untuk membersihkan rumah kosong ini setiap hari.

Gadis blonde itu tidak melangkahkan kakinya menuju toilet, seperti yang dia katakan tadi. Itu hanya sebagai pengalihannya saja. Sekarang dia sedang berada di lantai dua, tempat dimana kamar-kamar penghuni rumah ini berada.

Tidak ada para tamu undangan di lantai tersebut, mereka hanya diperbolehkan berada di sekitar lantai satu. Sedangkan lantai dua hanya untuk orang-orang tertentu saja. Keluarga Raejun.

Kamar yang dia tuju pertama kali pastinya kamar dirinya dan Lisa dulu. Tidak ada yang berubah dari kamar bernuansa kuning dan biru muda tersebut. Semua barang yang ada disana masih lengkap, tidak ada yang berkurang satu pun.

Rosé mendudukkan dirinya diatas kasur yang kini menciut karena dia telah beranjak dewasa. Kedua matanya memperhatikan sekeliling kamar tersebut sambil mengenang masa lalu. Hingga perhatiannya tertuju ke bingkai foto yang berada diatas nakas sebelah tempat tidur.

Rosé mengambil bingkai foto tersebut. Ada tiga foto disana. Foto pertama yaitu foto dirinya, Lisa, Jennie, Jisoo, dan kedua orang tuanya. Lalu foto kedua merupakan foto mereka berempat. Dan foto ketiga adalah fotonya bersama Lisa.

Masa itu adalah masa-masa yang paling indah bagi Rosé. Tidak akan pernah sebanding dengan kehidupannya sekarang.

"Jadi disini toiletmu?"

Hampir saja Rosé menjatuhkan bingkai foto tersebut saat mendengar suara seseorang. Dia berdecak pelan, melirik Jisoo yang berjalan memasuki kamar tersebut.

Dengan senyuman tipis diwajahnya, Jisoo berkeliling melihat isi kamar kedua adik bungsunya tersebut. Dulu dia sering pergi ke kamar ini pagi-pagi untuk membangunkan Rosé dan Lisa. Dia juga masih ingat betapa susahnya membangunkan Lisa.

Perhatiannya beralih ke arah rak buku yang ada di sudut kamar. Jisoo mendekati rak tersebut dan mengambil sebuah buku cerita. Tangannya mengusap pelan buku cerita yang memiliki judul Alice In Wonderland. Buku itu dia berikan kepada Lalice sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh tahun.

Lisa sangat menyukai buku tersebut. Dia selalu membawa buku cerita itu kemana pun dia pergi. Bahkan setiap malam terkadang Lisa memintanya untuk membacakan cerita tersebut.

Jisoo menggeleng samar. Dia tidak boleh menangis. Apalagi saat ini dia tidak sendirian, ada Rosé bersamanya. Dia tidak ingin adiknya itu melihat sisi lemahnya.

"Kamar ini masih terlihat sama." Jisoo berucap pelan, memecah keheningan.

"Bukankah begitu?" Sambungnya menoleh menatap Rosé yang terduduk di kasur.

"E-eoh." Jawab Rosé terbata. Tidak menyangka jika Jisoo akan mengajaknya mengobrol terlebih dahulu, mengingat seperti apa hubungan mereka sejak sepuluh tahun yang lalu.

Suasana kembali sunyi, menyisakan suara hingar-bingar para tamu yang berada di lantai satu. Jisoo mengepalkan tangannya erat. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memperbaiki semuanya dari awal?

Memory (DISCONTINUED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang