Nafas keduanya terengah-engah. Pasukan itu seolah tidak ada habisnya. Mereka akhirnya bersembunyi di balik sebuah tempat pemandian umum. Chanyeol memeluk Wendy dengan erat seraya keduanya menahan nafas mereka.

Beberapa saat berlalu, dan mereka mendengar suara langkah pasukan itu samar-samar menghilang.

Wendy menghela nafasnya.

"Bagaimana mereka bisa tau kita disana?"

"Entah," jawab Chanyeol kelelahan. "Sudah lama aku tidak memakai kekuatanku."

Wendy tiba-tiba bangkit berdiri dan menatap Chanyeol dengan panik.

"Kita harus menjemput Renjun," ujarnya khawatir. "Mereka bisa mencarinya ke sekolah."

"Jangan khawatir. Mereka takkan tau kita punya anak," jawab Chanyeol. "Tapi kita memang harus segera menjemputnya."

"Ayo."

Wendy menarik Chanyeol dan keduanya berjalan ke sekolah Renjun. Biasanya mereka akan membawa motor untuk menjemput Renjun, namun mereka takkan sempat kembali. Rumah mereka hancur. Kemungkinan bahwa motor mereka tidak hancur sangatlah kecil.

Kejadian tadi masih terus terulang di benaknya. Ia kira mereka sudah bebas. Ia kira orang-orang itu takkan mencarinya lagi. Namun rupanya, mereka tak pernah benar-benar bebas. Orang-orang itu akan terus mencari mereka sampai akhir.

Lantas bagaimana dengan Renjun?

Ia tak mau anaknya hidup dalam pelarian.

Dengan penuh kekhawatiran, mereka akhirnya tiba di sekolah Renjun. Langit sudah gelap begitu mereka sampai. Keduanya segera berlari masuk sebelum suara ledakan menghentikan langkahnya. Mereka segera menunduk. Chanyeol mengutuk kesal ketika melihat pasukan itu berjalan ke arah keduanya.

"Percobaan CY2711-01, berhenti di tempat."

Chanyeol berbalik. Ia segera mengendalikan pikiran pasukan-pasukan itu. Mereka tiba-tiba mulai saling menyerang satu sama lain. Chanyeol mengambil kesempatan itu untuk menarik Wendy agar turut berlari bersamanya.

Renjun dalam bahaya.

Suara ledakan lain terdengar.

"Percobaan SW2102-01, berhenti di tempat."

Keduanya tak mempedulikan suara itu dan terus berlari, berusaha menemukan Renjun. Langkah keduanya tak bertahan lama. Mereka berhenti tepat di depan pintu masuk, dengan tubuh Renjun yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Darah nampak tergenang di sekujur tubuhnya.

Wendy terdiam melihatnya. Hatinya serasa hancur.

"Kumohon, tolong temanku! Dia terluka!"

Seorang anak kecil di sebelahnya bicara. Namun Wendy masih terdiam, ia menatap anaknya dengan terkejut. Anaknya, anak kesayangannya, kini terbaring tak sadarkan diri di lantai. Dengan darah menggenang.

"..dy! Wendy!" teriak Chanyeol seraya menggoyang-goyangkan tubuh wanita itu. Sontak, Wendy tersentak dari lamunannya. Ia menoleh menatap Chanyeol dengan nafas terengah-engah.

"Jangan khawatir. Dia gak akan mati. Kau tau dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri kan?"

Wendy mulai tersadar dan perlahan mengangguk.

"A-Apa yang harus kita lakukan?"

Chanyeol menunduk menatap anak kecil di sebelah Renjun. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan menyentuh kepala anak itu dengan lembut. Kesadarannya pun menghilang.

"Aku akan mengunci ingatannya. Dia bisa dalam bahaya."

Wendy berlutut dan menggendong Renjun ke dalam pelukannya. Ia merapihkan rambut anak itu yang berantakan dengan lembut. Air matanya menetes. Anak itu masih kecil, sangat kecil. Ia tidak boleh hidup seperti mereka, tidak pernah tenang dan selalu dalam pelarian. Wendy mau anaknya hidup normal layaknya anak lain, dengan kedua orang tua yang juga normal.

Ia tidak bisa menjadi orang tuanya.

Renjun takkan pernah bahagia selama ia masih menjadi anaknya.

Wanita itu mengeratkan pelukannya pada Renjun.

"Chanyeol-ah," panggilnya pelan.

"Kenapa?"

Chanyeol turut berlutut di sebelahnya.

"Kunci juga ingatannya."

Chanyeol menatapnya dengan terkejut.

"Apa?"

"Semua ingatannya tentang kita. Semua. Kunci ingatannya."

Chanyeol menoleh menatap Renjun dalam pelukan Wendy.

"Ia takkan pernah bahagia selama kita masih jadi orang tuanya," lanjut Wendy. "Kau tau itu."

Chanyeol tahu itu. Ia hanya tidak mau mengakuinya. Ia ingin menjadi orang egois, mempertahankan keluarga kecilnya itu selamanya. Tapi ia tahu Wendy benar. Renjun akan hidup dalam ketidaktenangan, melewatkan kehidupan normal layaknya anak lain.

Ia tahu itu, tapi ia ingin berpura-pura tidak tahu.

Chanyeol mengelus kepala Renjun.

"Kau yakin?"

Wendy masih terus menatap putranya. Dipeluknya Renjun dengan sedikit lebih erat. Air matanya menetes.

"Lakukan."

Dan Chanyeol menghapus ingatan anak itu. Semua kenangan bahagia mereka, semua kenangan yang mereka buat bersama. Ia menguncinya dan tidak akan pernah membukanya lagi sampai kapanpun. Perlahan, ia mencium kening anak itu.

"Kau mau membawanya ke panti asuhan?"

Wendy buru-buru menggeleng.

"Aku tak mau dia hidup tanpa orang tua."

"Lantas?"

"Tao. Kita bawa Renjun padanya."

"Apa?"

Wendy menelan ludahnya. Ia menghentikan tangisnya.

"Kudengar dia dan istrinya ingin punya anak, tapi selalu gagal."

"Tapi dia bekerja untuk mereka!"

"Justru semakin baik. Mereka takkan mencurigai Renjun. Mereka hanya akan menganggapnya sebagai anak biasa, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita," jawab Wendy.

"Apa kau yakin?"

Wendy mengangguk.

"Yakin. Aku yakin Tao bisa menjaganya dengan baik."

Wendy menatap bayi kecilnya untuk yang terakhir kali sebelum menciumnya. Malaikat kecilnya akan baik-baik saja. Apapun yang terjadi, ia akan selalu melindunginya.

Selamanya.

Selamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a/n

maaf masih flashback guys, chapter selanjutnya harusnya sudah selesai flashbacknya :)

We Be Pullin Trigger (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang