01| Perkara Pagi

Mulai dari awal
                                    

Takut kurusak!

Setelah mesin berhenti, aku pelan-pelan mengambil baju di dalamnya. "Tunggu bentar aku setrika," pesanku sebelum berlalu memanaskan setrika.

Di rumah ini tidak ada pembantu, akan bangkrut Mas Akbar kalau sampai menyediakan pembantu pula untukku.

"Aku berangkat," Mas Akbar mengambil tasnya dan bersiap pergi. Aku langsung menghentikan gerakan menyetrika. Dia sudah rapi dengan kemeja hijau tosca dan balutan jas hitamnya.

"Terus ini?" Tunjukku pada kemeja setengah kering yang tak berdosa itu.

"Aku udah ada baju, masa kubuka lagi?"

Aku memberengut kesal lantas mengambil kemeja tadi dan kutaruh kembali di dalam cucian basah. "Kalau begitu kenapa masih nyuruh nyuci?" Teriakku berapi-api. Tidak ada suara lagi yang kudengar selain suara deru mobil berlalu.

Aku seketika ingin sekali mengumpat! Aku berlari ke jendela, mobil Mas Akbar sudah pergi, meninggalkan kekesalan yang sudah di ubun-ubun.

Aku mengernyit merasakan mulas di perut, lalu aku duduk sembari memegang perut. Usia kehamilanku sudah menginjak 3 bulan. Artinya sudah hampir enam bulan aku menikah dengan Mas Akbar.

Tidak ada sikapnya sedikit pun yang berubah. Sejak awal dia memang datar padaku, semua selalu dianggap biasa-biasa saja. Sikapku yang agresif dan pemarah bahkan tak berpengaruh. Dia jauh lebih keras kepala dariku.

Aku memutuskan untuk membereskan ruangan setelah perutku terasa baik. Belakangan ini aku selalu muntah-muntah, dan untuk satu hal itu aku tak suka.

Hampir dua jam aku berkutat dengan rumah. Dari lantai atas sampai lantai bawah, aku mengepel dan merapikan pakaian Mas Akbar yang terhambur.

Aku sudah tidak melihat ada laptop di sana, yang artinya dia tidak akan pulang malam ini. Terserahlah.

"Assalamu'alaykum! Mia!" Suara seseorang membuatku lekas turun ke lantai dasar. Salahkan aku yang bodoh karena lantai masih basah. Alhasil kakiku terpeleset di ujung tangga dan rasanya sakit luar biasa. Tubuhku tersungkur bagai lawan yang kalah di arena tinju.

Tidak, jangan bayangkan tubuhku yang berguling-guling. Aku hanya jatuh di beberapa undakan tangga terakhir, tapi rasanya bibirku terbentur di lantai begitu keras dan merembeskan darah.

"Ya Allah, Mia!"

Bu Ayu menghampiriku. Aku meringis sakit. Perutku kram. Beliau membangunkanku dalam posisi duduk lalu membawaku ke kursi terdekat. Aku tersenyum kecil meminta terima kasih.

"Kamu ndak papa toh?" Bu Ayu melihatku khawatir. Dia mengecek tubuhku dari atas ke bawah, mencari luka di sana. Tapi memang aku tidak luka selain bibirku yang pecah.

"Duh, kenapa lari-lari, Mia. Kamu ada yang sakit?"

Aku menggeleng kecil.

"Kita ke klinik saja ya! Biar dokter periksa,"

Aku sontak menggeleng keras. "Jangan bu, Mia cuman jatuh begitu kok, ini sudah ga papa,"

"Aduh," Bu Ayu gusar sekali. "Biar tak telpon suamimu ya!"

Apalagi itu! "Eh ga usah, Bu! Mia beneran ga papa. Suamiku juga baru berangkat, kasian harus pulang lagi,"

Bukan, bukan itu yang kutakutkan. Membayangkan Ibu mertuaku tahu, bisa digiling aku. Mas Akbar dan Mamanya adalah paket komplit kalau sedang marah. Apalagi sekarang aku sedang hamil, bisa berlipat-lipatlah kemarahan Mama kalau sampai tahu aku nyaris membahayakan cucunya.

"Bu Ayu kenapa kesini?" Aku akhirnya menanyakan pertanyaan awalku.

"Ah itu, saya, Nita sama Ibu RT mau bikin bolu. Tadinya mau manggil kamu kumpul juga, tapi rasanya ndhak usah dulu to. Kamu istirahat saja ya, Ibu takut kamu kenapa-napa. Sedang hamil lho kamu ini,"

Aku mencebik, padahal aku sangat bosan di rumah. Ibu-ibu tetanggaku sangat baik. Kami suka berbelanja sayur bersama. Apalagi Bu RT. Beliau suka sekali mengajak kami membuat kue di rumahnya. Beliau tidak pandai memasak, tapi paling rajin membeli bahan kue untuk eksperimen resep baru.

"Sudah, kalau ada apa-apa, telpon Ibu ya!"

Sebagai tetangga yang baik, aku mengantarkannya keluar. Walau aku masih tertatih berjalan. Selangkanganku terasa aneh.

Setelah kepergian Bu Ayu, aku memasuki kamar mandi. Membuka pakaian dalamku dan lantas menggigit bibirku yang kepalang berdarah.

Aku buru-buru mengambil tisu dan melap darah di bagian bawah tubuhku. Hanya darah kecil, tapi celana dalamku sudah agak basah.

Aku gemetar sekarang. Bayiku baik-baik saja, kan? Tapi, kenapa ada darah?

Apa aku harus menghubungi Mas Akbar?

***

Made with love

Searth

SECOND WIFE (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang