Fifty Shades Darker?

Mulai dari awal
                                    

Restoran jawa sederhana, Tian kangen makan lalapan jadi kami memutuskan untuk kesini. Pesanan diatur Tian karena menu-menunya terlihat asing dan susah untuk dipahami, lagipula menu yang tersedia tidak terlalu banyak hanya masakan tradisional.

Tapi saat mengedarkan pandangan, restoran ini tertata sangat rapi dan dekorasinya terlihat antik. Ditambah dengan musik tradisional yang mengalun lembut, suasana pedesaan sangat kental walaupun berada ditengah kota. Ini sangat terasa suasana desa, tiba-tiba aku jadi kangen desanya Tian.

"Apa?" Saat tanpa sengaja tatapan kami bertemu, Tian ternyata sedari tadi terus menatap.

"Kamu sebenarnya kenapa?"

"Kenapa apanya?"

Tian bersandar pada kuris, melipat tangannya. Mataku membulat, sikap dan cara menatapnya seolah-olah sedang memberikan penghakiman.

"Ini pasti karena omongan Mama kemarin." Tebaknya tepat.

Minuman kami datang. Tian es teh lemon dan aku es jeruk. Aku langsung meminumnya untuk menyegarkan tenggorkan dan menghilangkan grogi.

"Inge."

Memutar mata malas, sebenarnya sengaja menyibukkan diri mengaduk-aduk untuk mengelak. Tapi Tian tetep kekeuh.

Aku memberikan tatapan sengit sebagai pengganti Apa.

Tian menghela nafas, lipatan tangannya turun. "Aku gak suka kamu yang begini."

Kedua alis terangkat, bertanya-tanya apakah ini akan menjadi perkelahian pertama kami setelah pacaran. Karena dari kalimatnnya, kata-kata Tian persis seperti seorang kekasih yang mengajak bertengkar.

"Aku gak minta kamu suka," jawabku tidak peduli. "Yang penting aku suka."

"Berarti bener ini semua gara-gara omongan Mama?"

Lupa menjawab pertanyaannya yang itu.

"Aku ngelakuin semua itu bukan minta kamu buat ngelakuin hal yang sama, aku tulus. Bahkan tanpa kamu minta aku juga bakal tetep ngelakuin."

Sialan, Tian yang berbicara tapi aku yang tidak berani menatap. Tatapannya sangat serius.

"Kamu inget gimana aku bisa kerja diperusahaan?"

Aku menggeleng.

"Itu bukan karena kamu nyuruh, walaupun kamu gak nyuruh aku yakin Mama atau Papa juga bakal minta. Kamu lupa kamu kerja butuh sekretaris, pendamping, dan teman yang paham. Mereka pasti akan tetep pilih aku."

Aku menyetujuinya. Telak.

"Masalah kita tinggal bareng, kamu masih inget juga?"

Aku menyeruput minumkanku lalu menggeleng.

"Kamu lupa aku yang kasih saran?"

"Lupa," cicitku.

Tian mengleha nafas, lagi. "Dua pulah empat jam selama tujuh hari kita selalu bareng, gak ada alasan lain buat kita gak tinggal bareng. Lagian Papa juga minta karena gak perlu lagi siapin kamu bodyguard atau penjaga, jadi bukan keinginan atau perintah kamu."

Ingatan-ingatan itu perlahan muncul, hampir semua kata-kata Tian benar.

"Dan masalah semua keperluanku."

"Aku sendiri yang nawarin gara-gara kamu harus menanggung keperluan Ibu dan Sintia?"

"Syukur kamu ingat."

Makanan datang, masakan-masakan khas jawa memenuhi meja. Tian mulai menikmatinya, sedangkan aku masih termenung setelah percakapan kami.

"Makan dulu, mikirnya nanti aja," Tian menegur.

"Berarti aku gak perlu nih ngelakuin semua yang aku usahain tadi?"

"Gak perlu."

"Gak perlu juga merasa bersalah kalau aku terus butuhin kamu?"

"Gak perlu."

"Gak perlu juga khawatir kalau kamu gak bakal ninggalin aku gara-gara gak butuh aku?"

Tian menatap datar, ia sudah cukup kesal.

"Okay," permasalahan selesai.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya, sibuk dengan makan siang masing-masing. Sampai kembali dikantor Tian langsung duduk di mejanya dan aku pun masuk kedalam ruangan, tenggelam bersama pekerjaan-pekerjaan tertunda yang harus diselesaikan hari ini juga.

Tian baru berbicara lagi setelah kami duduk di sofa ruang tamu apartemen sebelum memulai makan malam, duduk di sebelah Tian menemaninya yang sibuk menyiapkan dvd player. Kami memiliki rencana menghabiskan waktu dengan menonton bersama.

"Aku tahu kamu masih mikirin itu."

"Sedikit."

Tian menoleh. "Posisi kita sudah tepat, posisimu sebagai kamu dan posisiku sebagai aku."

Aku memandang tidak paham.

"Kamu cukup jadi diri kamu sendiri dan aku bakal jadi diri aku sendiri. Lagian selama ini kita gak ada masalah tentang posisi masing-masing, terus buat apa dirubah?"

"Buat cari tahu batasan diri mungkin?"

Tian menggeleng. "Buat apa? Kamu sudah cukup ahli buat merintah orang."

"Kamu juga ahli banget nurut."

Tian terkekeh.

Aku meluruskan kaki di atas sofa tepat berada di atas paha Tian. "Pijitin," kedua tangannya dengan cekatan langsung menekan-nekan kaki.

"Tian."

"Hm."

"Aku penasaran, kamu pernah gak bayangin kita bakal bearkhir kayak gini?"

"Kayak gimana?" Tian masih sibuk mengganti-ganti film selagi memijit.

"Kita. Bersama. Akhirnya."

"Aku gak pernah bayangin," Tian menoleh, melihatku yang memandangnya kecewa. "Karena hampir setiap hari aku selalu lihat kita bersama sampai gak sempat buat bayangin."

Senyuman tipis itu, senyuman yang ia berikan seblum kembali memalingkan wajah. Penuh percaya diri dan keyakinan. Cukup puas dengan jawaban yang ia berikan, terdengar masuk akal dan menyentuh. Romantis, sedikit. Tapi usahanya sendiri untuk membuat suasana romantis telah dikalahkan oleh kebiasaannya yang sehari-hari selalu membuatku tersentuh. Tian tidak memerlukan romantis, karena romantis itu sendiri adalah Tian.

Sampai suara tanda film dimulai, aku memalingkan wajah dari menganggumi sisi wajah Tian.

"Ih Tian."

"Apa?"

"Kok kita nonton film ini?"

Tian hanya menyeringai, membuatku merinding.

Fifty Shades Darker, sebuah pilihan film yang salah. Sekuelnya terdahulu Fifty Shades of Grey, memiliki kenangan yang cukup buruk untuk kami. Sangat buruk.



Hai readers! New chapter is here!

Semoga suka.

Maaf minggu lalu lupa Up :(

Jangan lupa meninggalkan jejak berupa KOMENTAR & VOTE. Don't be silent readers please.

Don't forget to follow, vote/like, comment, andshare for more stories coming. Thx luv ya.
#DFoaie

CHAPELURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang