13. Curhat Tata

Mulai dari awal
                                    

Tata menundukkan pandangannya ke lantai kamar Farid. Kata-kata Farid cukup membuatnya merasa bersalah.

"Ok. Apa mau lu?" tanya Farid masih dengan wajah sebalnya.

"Gue belum cerita kan?"

"Tentang lu?"

Tata mengangguk kecil.

"Gue udah tau lu yang sebenarnya. Tanpa lu cerita."

Tiba-tiba dada Tata sesak. Dia biarkan bulir air matanya jatuh. Tapi cepat dia usap-usap pipinya.

"Gue minta maaf. Gue lupa minta maaf ma elu, Rid. Gue udah hampir..."

Tata tidak sanggup meneruskan kalimatnya.

"Tanpa lu minta maaf, gue udah pasti maafin lu. Tapi gue tetap nggak setuju cara lu minta maaf yang kegini. Lu tinggal bilang ke gue besok ketemuan. Nggak mesti buat sedih orang lain."

Farid menatap tajam Tata.

"Ini yang gue nggak suka. Lu egois, Re."

"Bukan itu maksud gue, Rid. Gue cuma nggak bisa ngilangin perasaan gue ke elu,"

"Lu maksa gue? Mau lu gue dekat lu?"

Tata pandang Farid takut-takut. Dia merasa lemah di hadapan Farid.

Farid menggeleng. Ternyata dia menghubungi Tata di waktu yang salah. Diliriknya novel kesukaannya. Dia tidak percaya bahwa dirinya sempat memikirkan kesamaan Tata dengan tokoh kesukaannya di dalam novel itu. Dan ini yang membuatnya ingin mendengar suara Tata sebelumnya.

"Ok. Lu boleh ngomong apa aja sekarang," Farid mulai melunak.

"Gue udah nggak perawan...,"

Farid memejamkan matanya. Dia sebenarnya tidak ingin mendengar kisah sedih, apalagi ini malam minggu. Dia dan keluarga kecilnya biasanya selalu bergembira ria mengisi malam minggu dengan canda tawa. Duh, Farid jadi rindu senyum kakaknya jika malam minggu tiba. Dan sekarang Nayra juga sedih karena harus mengurus keluarganya yang sedang menghadapi masalah.

Akhirnya Farid memutuskan membiarkan Tata bercerita.

"Gue masih ingat malam-malam gue diancam dia, supaya nurut. Tiga kali, Rid. Dan itu bikin gue ngerasa hina banget." Tata mengatur emosinya agar lebih tenang bercerita.

"Re..., udah. Gue udah tau..."

"Gue sedih dengan hidup gue, Farid. Gue nggak perawan, gue pembunuh, gue lesbi, gue aneh. Tapi sejak ketemu lu gue jadi ingin berubah. Gue ngerasa lebih tenang dekat lu. Gue tau, gue nggak ngaca. Siapa gue? Gue sadar kalo gue ...,  maksa. Entahlah. Seminggu ini gue pingin banget hubungi lu. Tapi gue takut lu marah, lu kesel, lu nggak mau maafin gue."

Tata menelan ludahnya kelu.

"Padahal gue udah janji sama diri gue sendiri kalo gue nggak bakal ganggu hidup lu, Farid. Tapi suara lu bikin gue pingin dekat lu lagi. Gue juga ingat janji gue kalo gue ingin cerita semua tentang gue, juga tentang Nayra. Setidaknya lu bisa denger dari mulut gue."

Tata menghela lega. Galaunya sudah lenyap. Dia tatap Farid yang sedari tadi mendengar curahan hatinya dengan tatapan tertunduk. Tata tahu, Farid masih kesal dan menyesal menghubunginya.

"Maaf..." ucap Tata akhirnya. Dia raih minuman rempah yang sudah dingin dan meneguknya hingga tak bersisa. Tata juga menghabiskan cemilan yang disajikan Bu Ola.

Tata sudah tidak sanggup menahan tangisnya. Sambil mengunyah, dia menangis. Kini tangisnya bukan karena Farid yang masih tampak kesal, tapi karena Bu Ola. Wanita itu luar biasa. Tata masih mengingat Bu Ola yang memburunya dan merangkulnya di rumah sakit. Bu Ola berusaha membesarkan hatinya. Padahal dia sendiri sama sekali tidak berpikir untuk meminta maaf ke Bu Ola. Malam ini, Bu Ola yang terlihat kesal, masih saja memperhatikannya. Menyediakannya handuk bersih, memijatnya, menyediakannya minuman hangat, juga cemilan seadanya. Dan membiarkannya duduk berdua di dalam kamar Farid. Dan gue hampir saja membunuh anaknya, gumam Tata membatin.

"Gue istirahat dulu, Farid..." ujar Tata yang sudah menghabiskan cemilannya. Dia ambil gelas dan piring yang sudah kosong, dan membawanya ke luar dari kamar Farid.

Begitu ke luar dari kamar Farid, Tata sejenak melihat tubuh Bu Ola yang meringkuk di atas tikar tipis menghadap ke layar televisi. Bu Ola sepertinya tertidur saat menonton.

Dengan perasaan gamang, Tata berjalan menuju dapur, meletakkan gelas dan piring kosong di sink dapur. Kemudian dia melangkah sangat pelan masuk ke kamar Nayra, khawatir membangunkan Bu Ola.

Dilihatnya kamar Nayra sudah sangat rapi.

Tata remas dadanya. Dia benar-benar merasa tidak pantas berada di dalam rumah yang penuh dengan kebaikan ini.

Tata ambil selimut tipis yang disediakan Bu Ola untuknya, lalu kembali ke luar dari kamar Nayra menuju Bu Ola yang masih meringkuk.

Dengan perasaan sedih bercampur haru, Tata selimuti tubuh tua itu dengan hati-hati. Dan kembali menuju kamar Nayra.

Tata tidak tau. Ada yang menangis selain dirinya malam itu.

***

FaridTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang