🐝 Devaul • 16

Mulai dari awal
                                    

Devano mendengus kesal.

"Mereka juga ngebuang tikus mati ke basecamp kemarin."

"Gila, tuh orang," sahut Kisar.

"Ya emang gila, 'kan," timpal Raja.

"Kita harus ngenyiapin anggota kita. Kita harus siap siaga kapanpun itu, karna mereka bisa nyerang kapan aja. Besok, kita latihan lagi." Devano berujar serius.

✨✨✨

Mey ingin keluar kelas, tapi tangannya dicekal oleh Katya. Cewek itu menyentak tangannya membuat cekalan itu terlepas.

"Lo gak jenguk, Laura?"

"Jengkuk?" beo Mey.

"Iya, Laura masuk rumah sakit kemarin."

Palingan karna kecapean, batin Mey.

"Dia nyayat tangannya, Mey. Masalahnya tambah banyak. Lo gak kasihan sama dia, Mey?"

Mey tersentak kaget. Cewek itu menatap Katya lekat di beberapa detik setelahnya.

"Gue gak peduli." Mey mendengus.

"Boong. Mata lo gak bisa boong, Mey." Katya menggeleng.

Mey mengangkat salah satu alisnya. "Terus? Gue harus peduli, gitu?" Mey menatap Katya sejenak lalu berjalan keluar.

Katya mengusap wajahnya kasar. "Mey, please, kembali kek dulu lagi! Mana Mey yang dulu? Mana Mey yang selalu peduli saat denger Laura sakit! Mana, Mey, mana!"

Mey berhenti karna ucapan Katya. "Semuanya udah beda, Ka." Mey meremas kuat tali tasnya lalu lanjut berjalan.

"Lo beneran udah gak peduli lagi?"

Mey memegang dadanya yang berdetak cepat. Saat ingin berjalan melewati kelas, Vanya malah nongol.

"Lo benar gak cemas sedikitpun tentang Laura?"

Mey mengangkat alisnya tinggi. "Menurut lo?"

Vanya terkekeh kecil. Ternyata benar jika Mey banyak berubah. "Mey, lo itu udah jadi sahabat Laura sejak lama. Lo satu-satunya orang yang jadi keluh kesahnya dia. Dan elo gak bakal peduli cuman karna masalah sepeleh?"

Mey menyernit tak suka. "Lo gak ngerti, Kak! Gak usah sok tau! Lagian, ini hidup gue. Ngapain lo ngerusuh?" desis Mey.

Vanya mengangkat bahunya. "Gue gak bermaksud untuk ngerusuh. Gue cuman mau persahabatan kalian itu balik lagi kek dulu. Apa lo gak rindu masa-masa saat lo sama Laura dulu?"


"Heh, anak nakal. Ngapain lagi lo sampai masuk RS gini?"

"Enak aja gue dipanggil anak nakal. Gue ini anak baik, ya," balas Laura kesal.

"Lau, lo gak usah ragu buat cerita masalah lo ke gue. Gue bakal selalu ada dan selalu ngedengarin semunya!"

"Lau, jangan sedih, ada gue, gue bakal selalu jagain elo."

"Lau, gue bakal selalu ada!"

Janji-janji manis yang dulu diucapkan oleh Mey untuk Laura terputar bagaikan kaset rusak. Cewek itu memejamkan matanya erat.

Mey membuka matanya pelan. "Gak. Ge gak rindu sama waktu-waktu gue sama dia dulu. Semuanya itu cuman bullshit."

Vanya melongo melihat Mey yang sudah berjalan meninggalkannya.

"Wah, daebbak!"

✨✨✨

Satu hari.

Lima hari.

Seminggu.

Laura masih juga belum bangun, cewek itu masih betah memejamkan matanya dengan erat. Kedua orang tua Laura juga belum sadar.

Devano duduk di kursi dekat brankar Laura. Tangannya terulur untuk mengenggam tangan dingin itu dengan lembut.

"Hai, gue dateng lagi. Gak cape tidur terus apa?" tanya Devano. Tak ada yang menjawab kali ini. Biasanya, Laura akan selalu menjawab dengan senyum lebar khasnya.

"Lau, pas kejadian minggu kemarin, Lena kebanyakan diem. Dia ngerasa bersalah. Entahlah, gue gak tau dia ngerasa bersalah beneran atau cuman sementara."

Devano refleks menoleh ke arah pintu saat mendengar suara pintu dibuka. Di sana, ada Lena yang sedang berdiri dengan senyum kikuk. Cewek itu berjalan mendekat.

"Lo ngapain?"

"Gak," jawab Devano singkat. "Lo mau jenguk Laura 'kan? Ya udah, gue keluar dulu."

Lena mengangguk pelan. Setelah Devano pergi, cewek itu mengisi tempat Devano tadi.

"Hai, kapan bangunnya?" tanya Lena dengan suara serak. Lena ... rindu Laura yang banyak bicara.

"Ayah sama Bunda udah bangun tadi. M-mereka amnesia." Lena mendongkak untuk menghalang air mata yang berdesakan keluar.

"Mereka ngelupain gue, ngelupain kita," bisik Lena. Tangis cewek itu pecah. Entah mengapa, Lena menjadi sangat cengeng sekarang.

Lena mengambil tangan dingin Laura dan menaruhnya pada pipinya. "Please, bangun."

"Lena?"

Lena menoleh cepat. Cewek itu buru-buru mengelap air matanya dan menghampiri Selin yang sedang menatapnya dengan datar di pintu.

"Oma ngapain ke sini?"

"Seharusnya Oma yang tanya begitu, Lena. Ngapain kamu di sini?" tanya Selin saat mereka sudah duduk di kursi di luar.

Lena terdiam sejenak. "Aku cuman pengen lihat Laura, Oma," jawabnya pelan.

"Di saat apa yang dia udah buat ke kamu, kamu masih peduliin dia?" tanya Selin tak habis pikir.

Lena menunduk. "Tapi Laura gak salah, Oma. Laura juga adik aku, aku harus ngejaga dia juga," cicit Lena.

Selin menghela nafas kasar. "Kamu gak boleh dekat-dekat sama dia lagi!" tegas Selin.

"T-tapi kenapa?"

"Oma gak suka." ujarnya tegas.

Lena menunduk dalam. Ia tidak bisa membantah apapun yang di perbuat oleh Selin. Kepalanya mengangguk pelan. "Iya, Oma."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Devaul • completedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang