"Baiklah, aku akan mentoleransi. Karena sejak awal aku memang menaruh harapan kepadamu. Aku berharap kau yang bisa membahagiakan dia. meski pun yah ... Aku tidak peduli apa itu kau atau laki-laki lain."

Jean mengangguk yakin.  "Aku mengerti. Tolong aku kali ini"

"Aku akan memberikanmu kesempatan terakhir, jika kau tetap mempertahankan  sifat bebal mu itu. Aku mundur."

Sasha mulai melangkah lagi, melanjutkan tujuannya menuju pintu keluar. Jean tentu mengekor, namun dengan langkah yang lebih santai.

"Pertama-pertama yang bisa kau lakukan adalah meminta maaf kepada Mikasa. Kau harus mengakui kesalahanmu."

"Kata kan secara langsung?" Sasha membuat tatapan tegas.

"Tentu saja, tapi jangan sekarang. Kau harus harus bersabar lebih lama, sebab sekarang Mikasa berada di rumah sakit, sedang menjenguk pamannya yang tengah kritis."

Jean terkesiap. Bulu matanya mengepak kaget. "Pamannya?"

"Kau tahu Tuan Grisha?"

Jean seketika menyipit, berusaha mengingat-ngingat nama yang terdengar familier di telinga. "Oh, ayah dari pria itu?"

Sasha membenarkan.  Namun Jean tidak bertanya atau pun merespon lebih banyak. Dia hanya berdeham seolah-olah abai. Mereka pun berlalu menuju kampus, untuk mengikuti kelas petang.



***


BAU antiseptik serta logam tercium oleh Mikasa dari kejauhan. Memenuhi setiap sudut rumah sakit. Di sana ramai padat. Ada orang yang berjalan dengan kedua kaki, dengan tongkat, kursi roda, bahkan di dorong dengan ranjang pasiennya. Mikasa hanya terdiam, berusaha fokus berjalan seraya mengamati, dimana paman Grisha dilarikan.

Levi yang memimpin langkahnya sudah tahu, ke mana tujuan mereka. Kamar inap kelas satu yang terletak di ujung rumah sakit. Sengaja seperti terisolir, ruangan khusus tanpa keributan. Hanya segelintir orang yang mampu menginjakan kaki di sana. Jauh berjalan, hingga tiba di sebuah kamar atas nama Tn. Grisha Yaeger. Saat masuk, pria tengah baya itu terkulai kaku di ranjang pasien. Grisha tersenyum simpul dengan bibir yang pucat pasi, sebagai sambutan hangat atas kehadiran Mikasa dan Levi. Dia cukup gembira dengan kedatangan mereka.

Nampak sedikit uban mulai terlihat diantara rambutnya yang masih berwarna hitam. Tertata seadanya. Pria tua itu mengenakan setelan pasien, berwana putih bercorak, tatkala atribut infus melengkapi tampilannya.

"Paman ..." ujar Mikasa mendekat dengan tatapan risau. Di luar ekspetasi Mikasa, dia kira akan menemukan Grisha dalam keadaan sekarat yang begitu dramatis. Ternyata pria tua itu masih sanggup tersenyum bahkan bicara dengan lancar.

"Paman baik-baik saja?" tanya Mikasa.

"Seperti yang kamu lihat, tapi jangan khawatir, kondisiku sudah lebih membaik," kendati suara Grisha terdengar parau, cukup banyak upaya untuk bicara.

"Sukur lah ... Maaf aku tidak membawa apa pun, kakak tiba-tiba saja menjemput ku di kampus."

Grisha yang tidak setuju dengan itu, otomatis menyorot jam dinding. "Kamu masih ada mata kuliah, bukan?"

Mikasa mengangguk. "Tapi kakak memaksaku untuk pergi, khawatir paman akan mati."

Mendengar itu, Grisha segera berkilat ke arah Levi, sedangkan dia malah membuang mata lalu menepuk punggung Mikasa amat keras. "Jaga ucapanmu, aku tidak bilang seperti itu," tukasnya sinis.

Mikasa meringis menatap Levi tajam. Sambil berseru dalam hati, sakit sialan!

Grisha berkelakar melihat tingkah mereka. Memberi tatapan amat teduh.

Forbidden ColorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang