BAB 3

11.9K 868 465
                                    

"Thania, stop okay! Kamu nggak kasihan sama Abang?"

Entah berapa jam yang terlewat, Thania sangat malas mendengar ocehan kakaknya. Ingin sekali Thania melawan, namun Thania hanya bisa menunduk. Bukan karena takut, tapi Thania menahan kantuk.

"Abang harus daftarin kamu ke sekolah mana lagi? Udah sepuluh kali kamu ganti sekolah dalam waktu tiga bulan."

Satria Bagaskara A. Pria matang yang baru saja menginjak usia 25 tahun, kini harus kembali menghadapi adiknya yang super duper nakal.

"Thania! Kamu dengerin, Abang nggak?" Satria menghampiri Thania yang duduk di hadapannya. Dia mengangkat kepala Thania yang tertunduk. Rasanya ingin sekali Satria mengumpat, namun dia hanya menghela napas, berusaha sabar. "Thania." Satria memanggil Thania dengan lembut, berusaha membangunkan adiknya yang tertidur. Namun, beberapa kali Satria memanggil namanya, Thania tidak kunjung bangun.

"Ngantuk banget nih anak." Satria membenarkan posis tidur Thania agar merasa nyaman. "Dasar nakal." Walaupun nakal Satria tetap sayang. Rasa sayang Satria kepada adiknya melebihi rasa sayang kepada kedua orang tuanya yang telah pergi.

Setelah membenarkan posisi tidur adiknya, Satria segera pergi untuk kembali bekerja. Namun, sebelum itu, dia menyimpan paper bag kecil di dekat Thania.

Gara-gara mendapat laporan dari kepala sekolah tentang Thania yang di keluarkan. Satria dengan rela menunda pekerjaannya terlebih dahulu demi sang adik. Kini waktu menunjukkan pukul delapan malam, entah berapa jam yang terlewati, namun Satria tidak peduli.

Waktu bergulir begitu cepat, malam telah berganti pagi, matahari mulai menampakkan wujudnya, cahaya matahari dari sela-sela jendela, kian membangunkan Thania dari tidur lelapnya.

Thania membuka mata kemudian, dia meregangkan tubuhnya guna membuat otot tetap fleksibel, sehat dan kuat. Setelah itu, Thania berdiri, melangkah menuju kamar untuk bersiap ke sekolah.

Thania ingat, semalam dia tidur di sofa ruang tamu setelah diceramahi kakaknya. Entah apa yang dikatakan kakaknya, Thania sama sekali tidak mendengar.

Di setiap langkah, Thania berfikir, kakaknya mendaftarkannya ke sekolah mana? Dan ke mana kakaknya itu? Apakah dia belum pulang?

****

"Bibii!"

"Ck, kolor gue di mana, sih?!" teriak Thania penuh emosi. Gadis dalam keadaan tubuh yang terlilit handuk itu mengacak rambut basahnya kesal.

"Argh! Kolor Upin Ipin gue di mana, sih, anjing?!"

Thania melempar asal apa saja yang diambil dari dalam lemari. Tidak peduli jika nantinya menjadi berantakan. Thania hanya ingin segera menemukan benda keramatnya.

"Non, ada ap-Astagfirullah. Non, kenapa diberantakin?" tanya Bi Sri, pembantu di rumah ini, sekaligus orang yang mengasuh Thania dari kecil.

Thania yang memang masih fokus mencari sesuatu, sama sekali tidak menggubris pertanyaan dari pembantunya itu.

Tumbuh menjadi gadis nakal, tidak membuatnya melupakan benda keramat kesayangannya. Sedari kecil, Thania memang suka mengoleksi benda-benda seperti itu. Dari mulai gambar Upin Ipin, Spongebob, Kancil dan kartun-kartun lainnya. Cukup dengan mengoleksi hal tersebut membuat Thania bahagia.

Gadis itu hanya punya satu prinsip dalam hidupnya, bahagia. Satu kata itu mempunyai arti tersendiri dan itu membuat Thania teguh akan prinsipnya yang terbilang simpel.

Rasa bahagia bukan hanya satu, namun banyak yang menggambarkan rasa bahagia. Seperti Thania yang bahagia karena mengoleksi kolor.

Gadis si penyuka koleksi kolor itu tidak pernah merasakan sedih, lebih tepatnya menangis. Hidupnya benar-benar terpenuhi meskipun kedua orang tuanya telah pergi dan selama ini, Thania tidak pernah menanyakan perihal kedua orang tuanya yang telah pergi untuk selama-lamanya.

My Perfection Is Badgirl Where stories live. Discover now