~ Chapter 10

Mulai dari awal
                                    

Daripada istilah ketindihan, Justin lebih percaya sleep paralysis. Ia selalu mengedepankan logika dan pendapat-pendapat masuk akal. Bagi Justin, peramal pasar malam hanyalah orang iseng berpakaian serba hitam yang mengarang segala perkataannya. Mendatangi orang-orang seperti itu hanya akan membuang waktu. Tapi, demi ketentraman kehidupan sekolahnya, maka tidak ada pilihan lain selain datang ke sana bersama Baim.

Sabtu malam, sekitar pukul tujuh, Justin sudah berdiri di depan pagar sekolah yang tertutup rapat. Menunggu Baim tentunya. Mereka berencana bertemu di sana. Justin mengusulkan agar Baim mengajak adik perempuannya, agar perjalanan mereka tidak awkward amat. Ya, kalian bayangkan saja, sepasang teman laki-laki berkeliling pasar malam hanya berdua. Justin ogah membayangkannya. Namun sayang, yang tiba hanyalah seonggok manusia berparas tampan yang cengar-cengir seraya merapikan rambutnya.

"Adek lo?" Justin bertanya dengan dahi berkerut.

Baim loading sebentar, kemudian menepuk dahi. "Gak mau ikut dia, malah gue kena pukul," kata Baim.

Justin mengangguk kecil.

"Lo ke sini naik ojol?" tanya Baim basa-basi.

Justin mengangguk. "Biasalah."

Selepas basa-basi garing barusan, kedua lelaki gagah itu lekas pergi ke tempat tujuan. Memasuki keramaian pasar malam, Justin berusaha keras agar tidak terpisah dari Baim. Inginnya sih langsung ke tempat tujuan alias tenda peramal di ujung sana, namun mata Baim yang jelalatan ke kanan-kiri membuat mereka harus menghampiri stan makanan dan mengeluarkan uang di sana.

Kering di tenggorokan, Justin pamit pada Baim untuk membeli minum sebentar. Baim dengan pipi menggembung penuh bakso bakar hanya mengangguk. Justin kembali menerobos keramaian. Sedikit pening dengan suara bising di sekitar, di antaranya adalah suara rengekan anak kecil. Ia sedikit berjinjit demi memastikan lokasi stan minuman. Barulah kembali melangkah mantap menuju sana.

Lampu kerlap-kerlip di sekitar sukses buat Justin pusing bukan main. Ditambah suara riuh dari kanan-kiri, lengkap sudah. Wahana bermain anak-anak penuh oleh manusia-manusia. Justin memijat pelan pelipis dengan sebelah tangan. Saking ramainya, ia lupa jalan kembali pada Baim. Sejauh mata memandang, tempat sepi yang ada hanya di dekat tenda hitam di bawah pohon besar. Maka Justin memutuskan untuk pergi ke sana.

Sunyi kembali didapat. Ia semakin jauh dari keramaian. Minuman ia sedot, kemudian mulai mengabari Baim lewat chat. Baim bertanya ciri-ciri tempat yang tengah Justin singgahi. Lelaki itu mengedarkan pandangan, badan ikut memutar dengan kepala mendongak. Papan berukuran sedang dengan tulisan timbul di depan tenda hitam membuat Justin lekas memberitahu lokasinya pada Baim. Ah, sepertinya Justin dan peramal abal-abal memang berjodoh. Papan kayu itu bertuliskan "Ramal Nasibmu di Sini", manakala sukses buat Justin menghela napas.

"Widih, roman-romannya semangat amat nih, Bos." Suara Baim langsung dikenali. Justin mendongak, kemudian menghela napas.

"Pala lo! Gak sengaja ini," sewot Justin.

Baim tertawa geli. Tangan menabok lengan Justin tanpa ampun. Mirip-mirip dengan Effelin—sepupunya—saat tertawa.

"Ya udah, yok, masuk!" Seruan semangat itu disahuti dengan dehaman malas.

Melewati pintu depan, gelap langsung menyelimuti. Pencahayaan di dalam minim sekali, sementara setiap sisi diselimuti kain hitam. Baim sok-sok merinding saat melangkah masuk. Justin malah memutar mata melihat reaksi berlebihannya itu. Mereka duduk di kursi kosong yang mana di depannya ada meja berlapis kain hitam sampai lantai yang di atasnya ada sebuah lampu bulat, mirip seperti yang di film-film. Di belakang meja ada satu kursi kosong lainnya.

Tak kunjung dilayani, Baim mulai mencoba memanggil. "Permisi!"

Suara ricuh dan benda jatuh terdengar sebelum akhirnya seonggok manusia berjubah hitam menutupi wajah muncul. Jalannya anggun, kemudian tak lama dia tersandung bajunya sendiri. Baim menahan tawa, begitu pula Justin yang tersenyum tipis-tipis.

"Selamat datang," sapanya setelah mendaratkan bokong ke atas kursi.

"Halo," sapa Baim tanpa ragu.

"Loh?" Tudung hitam dibuka. Tampaklah wajah polos tanpa make up yang sedikit berkeringat dengan rambut dicepol asal yang sedikit acak-acakan. Justin membulatkan mata, ia kenal betul dengan sosok di depannya ini. Saking terkejutnya, Justin sampai tersedak oleh air liur sendiri. Terbatuk-batuk dengan dramatis. Baim di sisinya menepuk punggungnya, berusaha meredakan.

"Justin?!"

"Sasha? Ngapain lo di sini?" Justin tidak habis pikir. Ini benar-benar di luar dugaan.

Sementara Sasha tertawa, sampai bergema memenuhi ruangan. Badannya terbungkuk-bungkuk dengan tangan memegangi perut.

"Lo ngapain di tempat kayak gini, njir!" ujarnya di sela tawa.

Justin mendengus. Total sudah Sasha menilainya sebagai orang aneh.

"Baim. Gue ngikut aja," cibirnya.

Baim yang sedaritadi mengerutkan dahi, kemudian ikut tertawa bersama Sasha. Dia baru menyadari kalau peramal ala-ala barusan adalah anak kepala sekolah di sekolahnya. Mereka memang tidak sekelas, tapi popularitas Sasha bukan main tingginya. Tidak heran kalau Baim kenal.

"Sha, lo tau? Si Justin, nih, ya, suka mimpi—" Mulut langsung dibungkam oleh tangan. Justin mendelik galak pada Baim. Tidak tahu kenapa, Justin agak merasa malu kalau Sasha tahu tentang mimpi-mimpi indahnya.

Sasha tetaplah Sasha. Rasa penasarannya membuncah. Dia mendesak penuh paksa, ingin tahu kelanjutan dari kalimat Baim barusan. Maka di sini lah mereka sekarang. Duduk santai di dekat tenda hitam dengan segelas teh hangat di masing-masing tangan.

Justin sukses ditertawai. Hal itu membuatnya jengkel.

"Hantu kali, Tin!" celetuk Sasha tiba-tiba.

"Ya, 'kan?!" sahut Baim semangat. Mereka berdua melakukan tos ala-ala. Justin semakin merengut.

"Hantu kok cakep," sunggutnya.

Sasha dan Baim semakin tertawa lihat ekspresi wajahnya. Ah, sudahlah.

*

Sekitar pukul sepuluh malam, akhirnya Justin dapat bertemu kasur empuknya kembali. Ia menghela napas. Percakapan tadi bersama Baim dan Sasha sukses memenuhi kepala. Kemungkinan-kemungkinan aneh mulai melintas di kepala. Apa iya Justin ketempelan? Lily hantu, ya? Kenapa dari sekian banyak makhluk Tuhan yang ada di dunia, Justin harus menaruh hati pada hantu.

Malam itu, Justin bermimpi. Ia melihat Lily di mimpinya. Dahi sukses mengernyit, ini bukan jam sore, kenapa Justin bisa memimpikan Lily? Namun, semua pertanyaan-pertanyaan di kepala hilang begitu saja. Lily mengambil penuh perhatiannya. Gadis itu merengut, dia tengah merajuk.

"Saya bukan hantu, ya! Sakit hati, lho, dibilang begitu," tegasnya dengan bibir dimajukan.

Justin hanya terkekeh saat itu.

Justin bertanya, "Terus, lo itu apa?"

Gadis itu berkacak pinggang, berjalan mendekat dengan wajah ditekuk. "Saya Lily."

Lily sudah bilang, 'kan? Maka Lily bukan hantu. Lily adalah Lily. Dan Justin tidak perlu pusing-pusing lagi.

*

AKHIRNYA AK BISA UPDATE UEUEUEUEU SORRY LAMA BANGET YA TRIMAKASI YANG MASIHH MAU BACA UEUEUEUEU OHIYA SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA BAGI PEMBACA MUSLIM HORE 

That Woman in My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang