Jihwa terkekeh. Nampak tidak peduli.
Demi Tuhan, kalau Jiya tidak sedang berhadapan dengan mamanya Jimin, Jiya juga tidak akan pernah peduli. Ia tidak ingin repot-repot beretika elok, berlakon setenang laut tanpa ombak, atau tersenyum kirana. Dia bisa saja memperlakukan Jihwa seperti mama Lim Dana kalau ia tidak ingat soal relasi romantisnya dengan Jimin—yang mesti dipertahankan.
Namun, jika nanti Jihwa kelewat limit, Jiya mungkin kapabel saja menjadikan Jihwa jadi Harlem Sergiola yang kedua.
Sumpah, salah tidak kalau Jiya menyukai Jimin? Kenapa Jihwa kelihatan tidak suka sekali, sih? Yieun itu kelewat eminem atau bagaimana?
“Aku tidak sudi kalau anakku menikah dengan kenya bekas yang bahkan sudah memiliki anak,” ujar Jihwa.
Pada akhirnya, Jiya mengudarakan bahananya. Kenya bekas, katanya. Jiya bahkan masih ingat perkara Jimin yang tidak menjadikan hal konyol itu sebagai sebuah problematika yang mesti dibesar-besarkan. Jimin menerima Jiya yang notabenenya—perempuan yang sudah dicicipi pria lain hingga menghasilkan buah hati. Pada era sekarang, hal itu sudah lumrah, bukan? Sumpah, Jiya ini sedang berhubungan dengan Jimin atau Jihwa? Kenapa malah perempuan ini yang repot?
Jiya menopang dagunya dengan senyuman yang masih tercetak. “Aku bukan satu-satunya. Hwang Jimin, your beloved son, acapkali melakukan hal itu dengan pedusi, berbagai kalangan: murid universiti, perempuan tolol yang berhasil dibodoh-bodohi, dan gadis-gadis prostitusi.” Ia menjeda, menikmati raut marah Jihwa. “Aku akui, gemku memang kurang cantik hingga bisa menghasilkan buah hati.”
Secara harfiah, insiden tertampungnya Jisa di garba Jiya memang bukan sengaja. Jiya dan Taehyung sama-sama punya intensi untuk menghadirkan buah hati, Namun, untuk kesekian kalinya, Jiya memublikasikan kebohongan seolah-olah Jisa itu kesalahan, bukan murni keinginan Jiya dan Taehyung.
Jihwa tak terlihat mau memublikasikan respon. Sehingga, berkat intuisi dan fakta yang Jiya ketahui, ia kembali berujar dengan diktum yang barangkali akan membuat Jihwa makin naik pitam. Jiya hanya ingin memberikan koreksi bahwa di sini bukan Jiya saja yang buruk. “Aku mengerti, kok. Sama halnya dengan mama dari papanya Jimin, jika dia masih hidup, aku yakin kalau dia tidak akan membiarkan anaknya menikah denganmu—yang bekas juga, dan lebih parah, menikahi gadis prostitusi. Jadi, apa bedanya, Nyonya? Jangan mencoba menjatuhkan aku kalau pada realitanya kamu juga similar. Atau lebih tepatnya, aku lebih terhormat.”
Dengan mengandalkan amarah, Jihwa beringsut bangun. Ia menabrakan epidermis telapak tangannya pada sisi muka Jiya. Lantas, seolah belum puas, ia mengambil gelas kaca berisikan likuid bening dan menyiramkannya pada wajah Jiya. Parahnya, Jihwa memukul secara random pada kepala Jiya dengan gelas itu hingga dahi Jiya memar.
Jihwa pemarah, ya? Padahal anaknya seperti malaikat nirwana.
Dengan napas tidak stabil dan memburu, jelas sekali kalau Jihwa nampak tidak terima dengan diktum Jiya. Apa yang salah? Jiya saja tidak marah saat disinggung sebagai kenya bekas, kenapa Jihwa malah marah? Jiya dan Jihwa itu sama, tidak ada bedanya.
Jiya tersenyum. Ia tidak mempermasalahkan bagaimana pipinya berkedut nyeri dengan wajah, surai, dan sandang yang terlanjur basah beserta dahi yang memar. Meskipun ia ingin sekali menjambak Jihwa sampai seluruh rambutnya tercabut dan memukuli Jihwa habis-habisan sama seperti ketika ia menyerang Harlem Sergiola.
Hanya saja, tatkala Jiya melihat visualisasi Jimin yang memasuki ruangan—secara harfiah, setiap jam makan siang, Jimin selalu berkunjung ke gedung Esclaire & Group untuk membuat momen manis bersama Jiya—Jiya membuat ekspresi lain. Ia menangis seolah habis disakiti secara bertubi. Berlakon.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌ㅡ𝐒𝐢𝐧𝐚𝐭𝐫𝐚 [✓]
Romance[ 𝐜𝐨𝐦𝐩𝐥𝐞𝐭𝐞𝐝. ] Ketika netra saling bersitatap kembali, varietas perasaan eksentrik sontak bersarang dalam serebrum dan sanubari. Turbulensi saraf menyerang, katastrofe melanda. Dalam rengkuhan relasi absurd itu, Jung Taehyung dan Kim Jiya m...
CHAPTER 23
Mulai dari awal