“Dih, disini tuh banyak cogan ya Jing, rugi kalo nggak tampil se perfect mungkin. Emang kayak lo berdua, ugly ughh.” Tangan Cindy melayang, memukul pundak Alina.
Perkataan Cindy dan Alina tidak jauh berbeda, sama-sama tidak di pikir terlebih dahulu, apakah lawan bicara akan tersinggung atau tidak, mereka tidak peduli. Untungnya Qilla cukup sabar dengan itu.
Diantara mereka bertiga, Alina lah yang ucapan nya selalu blak-blakan hingga menyentuh ulu hati. Alina dengan sifat jutek, tapi mempunyai rasa peduli yang tinggi, sama halnya dengan Cindy. Hanya saja Cindy sedikit heboh akan satu hal, hiperaktif, cerewet, dan blak-blakan.
Qilla hanya diam, tak menanggapi ucapan Cindy. Dia lebih memilih fokus untuk memahami gerakan yang akan di pelajari kali ini melalui vidio yang sedang Qilla tonton.
Sejujurnya, gerakan skate itu sangat sulit. Tiga hari ini sekujur tubuh Qilla dipenuhi memar. Untuk membuat keseimbangan tubuh saja, Qilla saat ini masih sering jatuh walaupun beberapa kali akhirnya berhasil. Hanya saja trik Ollie yang biasanya digunakan untuk pemula, sampai saat ini Qilla masih belum bisa mempelajari nya.
“Demi apa coba, Dylan sekarang hadir?! Sudah tiga hari kehadiran tu cowok absen.” Bisikan itu mulai terdengar, yang tadinya hanya terdengar gerakan roda dari papan skateboard dan suara para cewek-cewek yang sedang sibuk dengan gibah.
Qilla menoleh, menatap sumber dari topik yang tengah dibahas, Dylan dengan trik nose grind yang dilakukan pada tepian trotoar, dengan tiga orang cowok di belakangnya yang melakukan trik yang sama. Gerakan mereka sangat indah.
“Woahh, si target datang. Kalo gue lihat ni ya, cocok tuh sama tipe cowok yang lo suka, yang skate gitu.”
Qilla mendelik kesal. Jika pasangan nya itu Dylan, dirinya bersumpah akan mencabut kembali perkataan nya itu. Dylan bukan lah orang yang cocok untuk dirinya. Benar, Qilla menyukai cowok yang hobi skate, tapi tidak Dylan orangnya.
“Lo berdua kenapa sih? Please ya, gak usah dibahas itu sekarang. Gua disini cuma menjalani tantangan yang kalian buat, bukan berarti gue cocok atau suka ke dia,” Qilla mendelik kesal, gadis itu beralih duduk pada trotoar disana dengan kaki yang ditaruh pada papan skateboard di depannya.
“Awas karma mbak,” ucap Cindy mencoba menakuti.
Qilla mengambil botol minum yang telah di persiapkan ketika berangkat siang tadi, lalu meneguk nya hingga tinggal setengah. “Gua gak bakal suka ke dia!” ucapnya sambil melemparkan botol itu kearah Cindy yang ditangkap dengan baik olehnya.
“Kamprett!! Kalo mau ngelemparin sesuatu kasih kode kek.” Sungut Cindy tak terima. Tapi tak urung, Cindy tetap mengalihkan tatapan pada orang-orang yang tengah asik dengan papan mereka masing-masing.
Qilla tak menggubris ucapan itu. Dia memilih pergi ke warung yang letak nya tepat di belakang tempat pelatihan itu. Tempat yang biasa digunakan oleh anak skate untuk beristirahat atau sekedar makan disana.
Bertepatan Dylan juga berjalan kearah yang sama. Peluh keringat membanjiri pelipis Dylan, dengan papan skate yang dia apit melalui lengan kiri, mungkin saja cowok itu haus karena terlalu banyak bermain skateboard. Untung saja, Dylan hanya sendiri saat ini.
Rencana awal di mulai.
“Dylan!” teriak Qilla sambil berlari, menghampiri Dylan yang tetap berjalan masuk, tanpa memperdulikan Qilla yang kesusahan mengejar langkah lebarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gay-ilan [COMPLETED]
Teen FictionNyatanya penyesalan selalu datang di akhir. Qilla merasakan hal itu. Karena truth or dare, Qilla terpaksa harus memenuhi misi gila sahabatnya. MISI YANG HARUS DIJALANI: Qilla harus memacari Dylan, yang rumornya bahwa ia seorang gay. Qilla tentu sa...
03 || Gay-ilan
Mulai dari awal