. • the twelfth

Mulai dari awal
                                    

"Kau tau aku tidak mencintai Jeongwoo dan hanya menganggapnya sahabat ku. Lantas, kenapa kau masih merasa seperti itu?" tanya Haruto. Lagi.

"Tidak kah kau memikirkan perasaan Jeongwoo yang jelas-jelas mencintaimu?" tanya balik Yedam. "Jangan egois, Haruto."

Kepala Haruto menunduk otomatis. Menarik napasnya dalam dan kemudian, ia beranjak dari duduknya dan mendekati Yedam sembari menatapnya intens.

"Bisa tidak, kalau tidak perlu bawa orang lain dalam perbincangan kita?"

"Jeongwoo bukan orang lain, Haruto. Dia juga orang yang kau nikahi. Jauh sebelum diriku."

Brak

Suara almari yang dipukul itu, tepat terdengar di telinga kiri Yedam. Ia berkedip terkejut karenanya. Napasnya rasanya tercekat saat Haruto menghimpitnya di antara tubuh si pemuda jangkung di hadapannya dengan almari pakaian di belakangnya.

Haruto menunduk menatap Yedam.

"Baiklah. Lupakan saja. Anggap saja, obrolan kita selesai saat kau mengatakan kau mencintai ku." lirihnya sambil mengulas senyum.

"Terimakasih." ujarnya tulus sebelum mempertemukan kedua belah bibir mereka. Membawa Yedam tenggelam dalam ciumannya.

Dan kemudian, semesta memberi ruang mereka untuk menghabiskan malam bersama dengan tetap terjaga. Berbagi kehangatan dalam cahaya temaram dari lampu tidur di kamar Yedam di kala angin malam berhembus begitu dingin di luar. Menyalurkan rasa sayang mereka dengan setiap sentuhan kulit mereka. Membiarkan emosi yang bernama cinta bergejolak di tengah-tengah mereka selama semalam.

Dan membiarkan seorang Watanabe Haruto mengklaim Watanabe Yedam adalah miliknya seorang.

◃───────────▹

Bress

"Aargh, hujannya semakin deras! Aku hilang konsen!" seru Junghwan mengeluh.

Yedam yang melihatnya hanya tertawa. Meski mengeluh begitu, Junghwan tetap berusaha menggarap soal yang tertera di bukunya.

Khusus hari ini, dikarenakan hujan mengguyur kota Seoul, Junghwan dan Yedam belajar di dalam rumah. Berkali-kali Junghwan menyumpah serapahi hujan. Tapi, karena Yedam mengingatkannya bahwa hujan adalah suatu anugerah, ia jadi berhenti.

Benar juga. Terkadang kita tidak ingin hujan turun. Menganggap hujan adalah malapetaka di kala ada orang lain di luar sana sangat senang dengan turunnya hujan.

Itulah hidup. Sederhananya, saat kita senang, tidak semua orang juga senang, mereka mungkin justru bersedih atas kesenangan kita, pun sebaliknya. Jika kita sedih, mungkin saja orang lain senang atas kesedihan kita.

Satu lagi pelajaran hidup yang Junghwan terima dari Yedam. Wah, Yedam sudah banyak mengajarkan hal-hal baru tentang kehidupan.

"Bulan depan sudah ujian ya?" tanya Yedam dan dijawab anggukan oleh Junghwan.

"Ah, grogi sekali. Teman-teman ku semakin hari semakin pintar. Rasanya insecure." curhat Junghwan.

Yedam menatap Junghwan. Beralih sejenak dari buku berisi materi milik Junghwan di hadapannya.

"Why insecure? Kamu juga makin hari makin pintar kok," hiburnya mengusak rambut Junghwan. "Just do your best and prove them that you're smarter too. Bukan lebih pintar dari mereka, tapi lebih pintar dari kamu yang kemarin. Tidak perlu berusaha mengalahkan orang walau itu tidak ada salahnya. Tapi, intinya tetap jadi dirimu yang terbaik. Nanti juga ada efek positif yang mengikuti mu."

Junghwan tersentuh dengan kalimat yang Yedam lontarkan padanya. Ah, sudah seperti mamanya. Junghwan jadi rindu. Sedih sekali mamanya harus sesibuk papanya kalau bekerja.

•Anprotagonist• [ℎ𝑎𝑟𝑢𝑑𝑎𝑚] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang