“Sorry, bolanya doooong!!!” teriak satu di antara pemain berseragam basket sana. Kerumunan yang tadinya hampir celaka, mendadak sukses dibuat buyar saling mengejar bola yang memental menjauhi kejaran.
“Ih lepasin! Gua aja yang bawain,”
“Gua!”
Dan benar, seharusnya bola kemarin dikempeskan saja, mereka jadi kebiasaan melempar sembarangan bolanya, lebih parahnya lagi jadi berujung keributan begini.
Auro sendiri masih tertahan kehilangan kuasanya di antara keributan gadis-gadis sibuk berebut bola yang diketahui akan digunakan setiap latihan sebelum pertandingan kelak itu.
Pandangan Auro kosong menatap ke sembarangan arah. Pun tak ada niatan melirik ke seberang sana, namun tiba-tiba saja terlintas sosok mereka-mereka tanpa izin mengukir senyum lebar dari balik ratapan kosongnya. Mendadak Auro mengedik acuh, setelah kedapatan pandangannya bertubrukan dengan mereka yang kemudian girang melambai.
Dasar tidak jelas, pikir Auro.
“Ro, mereka kan yang lawan kamu main basket waktu itu?” Aura membisik pelan. Pertanyaannya sukses menemukan alasan senyum sinis Auro akhirnya ikut mengembang juga.
“Mereka kalah!” gumam Auro membalas remeh berikut tunggikan senyumnya.
“Tapi nggak sampai dendam kan, hihihi?!”
“Selama pelatihnya bukan Ibun, gua jamin dendam masih akan tetap dibebasin buat mereka! Kecuali Ibun udah turun tangan, insya Allah semua bakal kena wejangan larangan qishos tanpa ilmu!”
“Hush ah, Auro ... ibun sendiri masa digituin, orangtua sendiri loh!”
“Iya, iya, aku khilaf antek-anteknya ibun, khilaf!!!” Auro memelas sebelum mengalah dari perdebatannya.
Usai beristirahat dari pemanasan lari berkeliling lapangan tadi, kelas akhirnya dikumpulkan kembali oleh Pak Ben, guru olahraga yang masih terbilang muda dengan status ayah satu anaknya.
Pak Ben menjelaskan beberapa hal pada materi basket pagi itu. Tidak lupa juga lapangan sempat dibuat geger, dengan memanggil pasukan tim basketnya mempraktikkan beberapa hal yang perlu diketahui dalam bab basket seperti jump shot, lay up, passing, dan lainnya.
Salahnya saja, putusan mengerahkan timnya di tengah kelas minus akhlak ini tidak sepenuhnya tepat. Ada malah merugibesarkan pekerjaannya sebagai guru.
Bukannya memperhatikan apa yang dipraktikkan, ada malah si objek peraganya yang justru mendapat perhatian khusus dari seisi kelas. Ujung-ujungnya dia pasti akan tetap menerangkan dua kali!
“Mengerti?” sahut Pak Ben memastikan.
“Mengerti Pak,”
Dan catat, tidak dianjurkan percaya pada mulut berbisa mereka. Lihat saja di pertemuan berikutnya, materi ini akan kembali diulang. Lagipula untuk apa mengundang guest star kalau Pak Ben sendiri juga bisa.
“Harus mengerti ya. Malu kalian kalau nggak ngerti, tim basket sekolah kita sendiri yang udah ngasih contoh langsung.”
Mendadak semua jadi tersipu dengan kebanggaan besarnya dari lisan Pak Ben barusan. Lalu apa hebatnya dipraktikkan oleh mereka, skor akhir mereka saja tetap kalah satu poin, pikir Auro.
KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA (END)
Teen Fiction"Nakal, bego, keras kepala, pembangkang, durhaka ... Sebenernya kelebihan gua apa sih, sampai harus nekad hidup di dunia ini?!" -Aurora *** Aku menjadikan diriku seperti bayaran atas...
3. Pertarungan dan Pertaruhan
Mulai dari awal