Kali ini langkah Naruto benar-benar terhenti. Satu tangannya yang menyentuh pagar tangga tampak bergetar. Wajahnya menunduk begitu dalam.
"Fugaku, apa kau tidak merasa salut pada putra bungsu kita? Sasuke bisa bertahan sejauh ini dalam kehidupan rumah tangga bersama seorang wanita yang tidak mampu memberikan dia kebahagiaan."
Sungguh, sesuatu di balik rongga dada Naruto terasa diremas sangat kuat. Dia ingin menjerit. Dia ingin menangis. Namun, nasihat ibundanya selalu menjadi alarm bahwa dia harus menjadi wanita yang tegar dan tangguh.
Dengan wajah yang masih menunduk dan perasaan sesak yang terus menjejali dada, Naruto kembali melanjutkan langkah.
Sementara di hadapan Mikoto, Fugaku tampak mengepalkan kedua tangan disertai pandangan tajam. "Jika kau bicara lagi lebih dari ini, aku tidak akan segan untuk menamparmu."
Mikoto terkesiap untuk sesaat sebelum berdecak jengkel kemudian beranjak dari sana. Dan Fugaku sendiri segera menyusul langkah sang menantu yang baru tiba di pertengahan anak tangga.
Naruto menoleh ke belakang kala merasakan sentuhan pada salah satu lengannya. "Ayah ...?"
Untuk sesaat Fugaku hanya membisu. Namun, kedua tangannya mulai bergerak menangkup pipi Naruto lalu mengelus salah satu kelopak matanya, menghapus butiran bening yang nyaris jatuh menetes. "Ayah tahu, kau tidak mungkin bisa mengabaikan ucapan Mikoto. Tapi, Ayah mohon... jangan terlalu dipikirkan. Kau bisa sakit."
" .... " Naruto tersenyum tipis. Senyuman yang terlihat sangat tulus. "Tidak, Ayah. Naru tidak pernah memikirkannya sampai sedalam itu."
Bohong.
Apa yang Naruto ucapkan benar-benar kebohongan besar. Sebab, dia bahkan nyaris frustrasi setiap kali memikirkan sikap Mikoto padanya hingga dia selalu saja merasa bersalah. Dan Fugaku pun menyadari hal itu. Fugaku tahu, menantunya ini tidak mungkin tidak memikirkan setiap sikap dan ucapan menyakitkan Mikoto kepadanya.
Fugaku menghela napas pelan sebelum menarik tubuh Naruto ke dalam pelukan, mengelus punggungnya dengan penuh sayang. "Ayah yakin, Sasuke pasti merasa sangat beruntung bisa hidup denganmu. Kau wanita baik, Naru. Tidak mungkin jika Sasuke tidak mendapatkan sedikit pun kebahagiaan bersamamu." Pelukan terlepas, Fugaku menatap lekat pada sepasang safir Naruto. "Jadi, Ayah mohon lagi... tolong jangan terlalu memikirkan ucapan Mikoto."
Kali ini Naruto terdiam cukup lama. Bagaimana bisa aku tidak terlalu memikirkannya, sedangkan ucapan ibu tadi mungkin saja memang ada benarnya.
Beberapa saat kemudian Naruto mengangguk pelan diiringi senyuman. "Aku mengerti. Ayah jangan cemas. Aku sama sekali tidak memikirkannya sampai sedalam itu." Dia menyentuh salah satu tangan Fugaku, menggenggamnya lembut. "Maka aku juga minta... Ayah jangan terlalu kasar pada ibu. Ibu pasti sangat sedih jika Ayah membentaknya seperti tadi."
Setelah mengucapkan itu, Naruto segera pamit untuk pergi ke kamar Sasuke. Sedangkan Fugaku masih berdiri di tempatnya semula.
Sejak sikap sang istri pada Naruto berubah tak lagi ada kehangatan dan kelembutan, Fugaku benar-benar malu pada Minato dan Kushina karena istrinya terus saja memperlakukan Naruto dengan sinis dan kasar tanpa pernah peduli meski di hadapan orang tua Naruto sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry, Don't Leave Me (20+)
Fanfiction(+20) Cinta yang dikira setia rupanya mendua. Menyimpan banyak dusta yang tak pernah terkira. Lantas, sikap seperti apa yang harus Naruto sambil untuk menghadapi konflik besar dalam kehidupan rumah tangganya bersama Sasuke? Akankah di...
Bab 8 : Salah Paham
Mulai dari awal