Mendengar hal itu, mendadak tubuh Margi membeku. Bahkan gerakan tangannya yang sedang menyisir rambut Allisya terhenti.
"Sa-saya belum menikah," sahut Margi lugas, perempuan itu tampak menolehkan wajahnya ke samping sembari menggigit tipis bibir bagian bawahnya.
Allisya spontan memutar tubuhnya ke belakang dan mendongak, menatap Margi dengan raut wajah bersalah. "Maaf, Allisya enggak tau kalau-"
"Tidak apa-apa nona, saya mengerti." tutur Margi tersenyum dan mengusap lembut kepala Allisya.
Allisya memasang raut wajah bersalah pada Margi. Namun perempuam itu justru membalasnya dengan sebuah senyuman yang tulus. "Sudah, sekarang mari turun, nona."
Margi mengulurkan tangannya ke depan Allisya dan tanpa ragu sedikitpun, Allisya langsung menyambut tangan Margi.
"Ayo, Bibi." Allisya mengangguk, ia ikut tersenyum karena melihat Margi yang tersenyum padanya. Kedua perempuan berbeda generasi itu pun turun ke bawah menuruni anak tangga dengan di selingi tawa bahagia dari Allisya saat Margi bercerita tentang hal-hal lucu padanya.
⊱≈0≈⊰
"Jadi bagaimana keputusan anda?"
"Ikuti saja apa yang dia katakan. Selagi tidak melanggar kontrak, It's okay. Tapi jika sampai itu terjadi, bawa kasus ini ke pengadilan."
"Baiklah."
"Saya tidak masuk hari ini, saya perlu istirahat."
Emilio mengangguk sambil membereskan dokumen yang ada di atas meja. Lelaki itu berdiri lalu membungkuk sedikit. "Kalau begitu saya permisi."
Sepeninggal Emilio. Elvan menyadari kedatangan Allisya bersama Margi ke lantai bawah. Elvan memicingkan kedua matanya ketika melihat tangan mereka saling berpegangan. Dan yang membuat Elvan lebih heran lagi, yaitu ketika melihat Allisya tersenyum semringah.
Begitupun dengan Margi, perempuan yang menyandang sebagai pelayan rumahnya itu juga ikut tersenyum. Mereka terlihat seperti ibu dan anak yang bahagia. Rupanya mereka cepat sekali akrab.Elvan sedang duduk di sofa dengan kaki bersilang sambil sesekali menyeruput kopi. Dan di belakangnya terdapat seorang lelaki yang berdiri tegak dengan postur tubuh besar dan berotot. Kini mata tajam Elvan sepenuhnya memandang Allisya. Anak itu terlihat cantik dengan balutan gaun sederhana yang membalut tubuh mungilnya. Di tambah lagi dengan senyum menawan Allisya yang kian membuat Elvan jatuh hati semakin dalam akan pesonanya.
Tidak di sangka ternyata Allisya itu sangat cantik. Semalam aku kehilangan kontrol -batin Elvan.
Namun tidak lama setelahnya, Elvan menutup kedua matanya rapat. Ia menggeram marah hingga bergemeletuk gigi. Amarahnya sangat mudah sekali terpancing jika menyangkut gadis kecil kesayanganya.
"Shit! Tundukan kepalamu, George!!" geraman Elvan terdengar mengerikan sehingga membuat George si pria berotot itu merinding.
"Maafkan saya, tuan."
"Jaga matamu atau aku akan mencongkelnya sekalian!"
"Sekali lagi maafkan saya, tuan."
Elvan malas menanggapi perkataan George. Sehingga ia memilih memandang Allisya yang mulai mendekatinya bersama Margi. Matanya terus mengawasi gerak-gerik Allisya sampai anak itu duduk berhadapan dengannya.
Allisya mendongak dan menatap Margi ketika perempuan itu melepas genggaman tangannya untuk pamit ke belakang. Entah kenapa Allisya merasa kehilangan dan ... Ingin selalu bersama Margi.
"Allisya mau di temenin sama Bibi." anak itu terlihat enggan melepas genggaman tangan Margi.
"Saya harus ke belakang, nona." Margi menggeleng menolak dengan halus.
Raut wajah Allisya seketika berubah jadi murung dan itu sukses membuat Elvan menatap tajam Margi. Elvan tidak suka melihat Gadisnya murung. Ia benci.
"Duduk Margi!" perintah Elvan tajam.
Margi refleks menoleh ke arah Elvan, Tampak perempuan itu menunduk dan menggelengkan kepala. "Tidak tuan, saya harus-"
Elvan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap dingin Margi. Seakan mengerti situasi, George akhirnya angkat bicara. "Turuti saja apa kata tuan."
Allisya menatap Margi dengan tatapan memohon, lalu menarik-narik tangan Margi. "Temani Allisya ya?" anak itu menganggukan kepalanya.
Margi diam seolah sedang mempertimbangkan. Melihat wajah memohon Allisya membuatnya jadi tak tega. Namun ia sadar posisi jika di sini dirinya hanyalah seorang pelayan rumah. Sudah semestinya ia berada di belakang, yaitu didapur.
Senyum Allisya terbit ketika melihat Margi mengangguk ringan dan mengambil duduk di sampingnya. Sementara Elvan yang untuk pertama kalinya melihat Allisya tersenyum alami hanya diam sambil memandangnya lekat. Tidak bisa di pungkiri jika senyuman itu membuat Elvan dapat bernapas lega, semoga seterusnya Allisya-nya dapat tersenyum seperti itu.
"Terima kasih sudah mengizinkan Bibi Margi duduk bersama Allisya ..." suara lembut Allisya membuyarkan lamunan Elvan.
"Kata siapa Margi duduk denganmu? Kemari, kamu duduk sama aku!" Elvan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar pada Allisya.
Mendengar hal itu sontak seluruh tubuh Allisya membeku. Apalagi ini ya Tuhan...
"Ayo kemari,"
TBC.
Suka ngga? Tolong share ceritaku ke siapapun agar pembacanya lebih banyak lagi.
Sekian, Terima kasih😊🙏
Salam sayang dariku buat kalian❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Nightmare
ChickLitAllisya terlonjak bangun dalam tidurnya, dengan nafas memburu serta peluh keringat dingin membasahi pelipis beberapa detik kemudian Allisya teringat sebuah cerita. Cerita itu tentang sebuah mimpi buruk. **** Baca selagi masih on going!!!
~EPISODE 8~
Mulai dari awal