"Kalau kamu reaktif, Adrian juga harus dicolok, kontak erat dia. Duh pengen banget gue yang nyolok hidung direktur!" gumam Lila yang diakhiri dengan tawa renyah.
Aku tau Lila sedang berusaha menghiburku, mungkin kepanikanku sudah terbaca olehnya. Beberapa saat kemudian aku dipanggil untuk masuk ke lab menjalani tes antigen. Lila dan Rafa tetap menemaniku. Mereka duduk agak jauh dariku, menunggu petugas lab malakukan tugasnya.
Entah sudah yang keberapa kali hidungku ini dicolok, sekarang rasanya udah terbiasa walaupun tetap sakit.
Sepuluh menit berlalu dan petugas lab itu menoleh ke Lila dan Rafa. "Reaktif, Dok!" ucapnya.
Tiba-tiba napasku sesak mengetahui bahwa hasil antigenku reaktif. Lila dan Rafa mendekat untuk melihat langsung hasilku yang ternyata memang bergaris dua.
Lila menepuk pundakku. "Nggak apa-apa! Stay positive! Kamu udah vaksin sama nggak ada penyakit komorbid juga. Tinggal makan banyak, istirahat cukup sama digempur vitamin langsung kalah virusnya." Hibur Lila.
"Bisa confirm PCR kapan, Mas?" tanya Rafa pada petugas Lab.
Petugas itu terlihat melihat jadwal antrian dia bukunya. "Kalau mau diselipin hari ini nggak apa-apa, Dok! Karyawan kita juga! Biar cepat tindak lanjutnya!"
"Sip! Sekarang bisa?" tanya Lila.
"Bisa Dok, tapi Bu Ovinya gimana? Mau langsung diswab lagi?"
"Harus mau!" sahut Lila cepat.
Aku masih cukup syok, aku awam sekali perihal ini, maka aku pasrah saja pada Lila dan Rafa. Bahkan tak keberatan saat harus merelakan hidungku di swab lagi, tambah tenggorokannya sekarang.
Aku pikir aku udah ekstra banget menjaga prokes, tapi tetap bisa tertular. Untung saja kemarin aku tidak jadi pulang ke rumah mama. Aku takut menularkan pada orang-orang rumah.
Berita aku reaktif sudah menyebar dan diproses. Aku langsung mendapat izin isolasi mandiri selama menunggu hasil PCR. Aku juga banyak doa dan semangat dari teman-teman, meskipun ada juga yang satu dua orang yang langsung menatapku sinis.
"Ini kamu isoman dulu di rumah, udah aku ambilin obat sama vitamin. Ingat pesanku, tetap dirumah dulu kalau perlu apa-apa bilang ke aku. Terus banyak istirahat, makannya juga yang sehat dan banyak, positive thinking terus!" Pesan Lila sebelum aku pulang.
"Nanti kalau ngerasain gejalanya bertambah langsung hubungi kita ya, Vi!" imbuh Rafa.
"Iya. Makasih banyak ya! Maaf aku kena, jadi bikin kalian was-was." sesalku.
Baik Rafa dan Lila langsung menyanggah ucapanku, mereka meyakinkan aku bahwa semua baik-baik saja.
"Udah sana pulang! Ada gunanya kamu jomblo dan punya rumah sendiri, jadinya nggak repot mikirin tempat isolasi!" ujar Lila dan kali ini berhasil membuatku ikut tertawa.
Aku segera pulang tapi sebelum itu aku berhenti untuk menerima telepon dari Bu Martha yang kebetulan sedang di luar kota. Tak jauh beda dengan yang lain, Bu Martha juga memberi semangat serta dukungan untukku. Kali ini aku pelan sekali membawa mobilnya, ada banyak sekali hal yang berputar di otakku.
"Kamu ini gimana sih, Vi! Udah dibilang jaga kesehatan, jangan pergi-pergi kalau nggak penting! Kalau udah kena gini kan semua jadi repot! Tadi kamu juga kontak sama anak-anak PKL, mereka harus ikut di swab. Biaya lagi kan kita!"
Masih teringat betul bagaimana sikap Lusi, Sang manajer keuangan, begitu mendengar aku reaktif. Sejak lama memang dia terlihat tidak suka padaku. Tapi mungkin wajar dia bersikap seperti itu karena sedang panik, aku sudah minta maaf karena kelalaianku harus membut repot banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Informed Consent
General Fiction"Setiap hal yang terjadi atas persetujuan kita, ada andil kita di dalamnya. Jangan mudah menyalahkan takdir jika ada yang tidak sesuai keinginan, jangan buru-buru menyebutnya ujian, karena bisa saja yang sedang terjadi adalah ganjaran dari apa yang...
Chapter 27 : Terkonfimasi
Mulai dari awal