"Bukan aku pembunuhnya," bisikku padanya.

Dia masih bergeming.

"Aku tidak melakukan apa pun. Aku tidak pernah membunuh siapa pun," sambungku.

"Memang agak tidak masuk akal jika kau orangnya. Aku pernah mendengar pernyataan dari David saat pembunuhan Kinara. Katanya, kau bersamanya. Tapi melalui saksi, kami tidak bisa membiarkanmu berlalu begitu saja." Tuan Nico menegakkan posisi duduknya. "Hanya saja, kau tidak ingat apa pun. Apa kau memiliki ketergantungan dengan narkotika atau alkohol?"

Aku menggeleng. "Sesekali."

Tuan Nico manggut-manggut.

"Apa kau memiliki riwayat penyakit?" tanyanya lagi.

Aku menengadah. Kutatap langit-langit yang telah berdebu dan usang itu sembari mengembalikan ingatan-ingatanku yang menghilang.

"Aku lupa. Tapi aku memiliki seorang dokter yang bisa menjelaskan segalanya," jawabku pada akhirnya.

"Dokter?"

"Namanya Dokter Hilde Katharina. Dia yang rutin memberiku obat."

Tuan Nico mencatat sesuatu di note miliknya.

"Jadi, kau tinggal sendirian, 'kan? Apa kau juga sendirian mengurus masalah-masalah kesehatanmu seperti ini, pajak, tagihan dan—"

"Sonia Varshen." Aku menyahut.

Tuan Nico mengernyit. "Bukankah dia mati?"

"Awalnya dia yang mengurus semuanya. Aku tinggal duduk di rumah dan menjalani hari-hariku. Keuanganku juga dia yang mengatur. Setelah kepergiannya, Avery yang mengatur segalanya. Tapi hanya sebentar. Setelah itu dia dipenjara." Aku menjelaskan.

"Lalu saat ini siapa?"

"Ayahku. Aku tak tahu sih. Tapi sepertinya Avery meminta ayahku untuk mengurus itu semua."

"Memangnya kenapa ayahmu lepas tanggung jawab?"

"Dia menikah lagi. Dia melupakanku sejenak. Tapi, anak tetaplah anak, 'kan?"

Tuan Nico tersenyum getir.

"Tuan Nico," panggilku, "apa kau percaya jika aku adalah pembunuh?"

Tuan Nico memutar penanya. Dia menggigit bibirnya dan berfikir panjang untuk menjawab itu.

Akhirnya, setelah beberapa saat dia menggeleng.

Aku tahu, memang sulit mempercayai seorang seperti aku sebagai pembunuh. Aku tidak suka kekerasan. Bahkan aku tidak bisa dibentak atau dimarahi. Aku gemetar jika dihadapkan dengan situasi menegangkan. Bahkan aku harus rutin mengkonsumsi obat penenang serta anti-depresan untuk menstabilkan diriku.

Berbeda dengan Johann. Johann merupakan anak yang energik dan penuh semangat. Masih masuk akal jika Johann adalah pembunuh. Tapi bukan. Bukan dia. Bukan Johann pembunuhnya.

Aku tidak tahu siapa pembunuhnya. Tapi itu bukan Johann.

"Kau tahu kenapa kami mencurigaimu?" tanya Tuan Nico setelah jeda sekian lama.

Aku menggeleng.

"Itu karena parfummu, karena kau pernah menerobos TKP dan yang terakhir karena kesaksian," jelas Tuan Nico.

"Aku menerobos TKP? Kapan?"

Belum sempat Tuan Nico menjawab pertanyaanku, pintu ruangan itu terbuka seolah menghentikan percakapan kami. Seorang polisi lain masuk dengan napas tersengal-sengal. Dia berbisik-bisik ke anggota penyelidik lainnya.

Aku tidak bisa mendengarnya kali ini.

Setelah itu, dia berjalan ke arah Tuan Nico yang berada di hadapanku.

Roseraie [END || REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang