Ya, semoga saja pemuda tersebut kapok. Kalau tidak, bukan suatu masalah. Ia bisa kembali mengusirnya.




Kemudian memasuki kamarnya dan langsung mencari kaus hitam kebesaran, beserta celana training berbahan satin menutupi setengah paha. Tak lupa mengambil dalamannya, lalu cepat-cepat pergi ke kamar mandi dan membilas dirinya dengan terburu-buru.




Ah, ya. Sejujurnya, Ia lebih gemar memakai pakaian serba pendek seperti ini. Katanya terasa sejuk, juga beberapa bagian tubuh terekspos nan menjadi kesukaannya. Ia merasa lebih menawan dan memiliki daya tarik sendiri daripada memakai pakaian serba panjang yang biasa ditunjukkan di depan umum.




Iya. Sayangnya, Ia belum percaya diri untuk mengenakannya di hadapan orang lain—selain kedua orang tuanya dan terkadang diperlihatkan kepada Taehyung yang sudah mengetahui kebiasaan nan disukainya itu sejak lama, tetapi jarang digunakan lantaran lelaki tersebut senang menggodanya, pula malah makin menempel dengannya.




Katakanlah, ini merupakan mandi terkilatnya karena tak menyentuh menit ke-lima belas. Jungkook tergesa-gesa menuruni tangga setelah menyemprotkan parfum (juga menjadi kebiasaan) pada dirinya seperdetik, lalu mengusak rambutnya yang masih bercucuran setetes air dari masing helai menggunakan handuk nan dibawanya ke bawah. Ia mengira, jika Taehyung telah menyantap, dan menyisakan beberapa potong martabak. Namun alis spontan berkerut ke tengah.




Tumben. Taehyung malah fokus membaca sesuatu di ponselnya. Pasalnya sang sahabat, jarang Ia temukan buat sekadar memindai suatu tulisan berparagraf banyak dalam sehari-hari bersama pemuda itu. Katanya, malas, membaca membosankan. Namun apa yang dilihatnya di depan ini? Dan bungkusan martabak masih tertutup apik, masih berada di dalam kantong plastik.




“Kamu belum sentuh martabaknya?” Jungkook berjalan, mendekati Taehyung dengan langkah yang sedikit lebih santai dari sebelumnya, seraya mengalungkan handuk di leher. Ia langsung mengeluarkan dus makanan tersebut dari plastik dan membuka bagian atas yang menutupi, kemudian mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Taehyung.




Si lelaki baru tersadar saat merasa sofa sedikit terguncang dikarenakan pergerakan dari sahabatnya. Ia menggeleng pelan dan menggaruk tengkuk bagian belakangnya. “Nunggu kamu selesai, sekalian biar martabaknya gak habis duluan,” kikihan rendah terdengar, Jungkook agaknya merinding.




Aura sang sahabat ... sedikit berbeda, bingung dari segi mananya aura pemuda di sampingnya agak—sayu? Tetapi berharap, Ia baik-baik saja. Tak ingin Taehyung sedih karena suatu hal.




Skenario terburuk adalah sebab dirinya.




Jungkook bisa menangkap Taehyung yang masih membaca artikel tersebut, bersamaan matanya berpendar cepat. Iapun baru tahu bila Taehyung memiliki kemampuan baca selaju ini. Mengedikkan bahu juga kepala yang sedikit ditelengkan, Jungkook lebih memilih untuk mengambil satu potongan martabak, lalu menggigitinya perlahan. Dia sudah mengiler sejak tadi. Tak tahan, lumeran cokelat ovomaltine menggugah selera makannya.




Bukan Jungkook namanya jika tidak mempunyai rasa keingin tahuan yang tinggi—apalagi terhadap sahabatnya yang tiba-tiba sibuk sendiri. Yang biasanya meladeni ataupun mengusilinya dua puluh empat pertujuh, justru lebih memilih diam dan mengerjakan sesuatu di luar jam sibuk. Terasa seperti déjà vu. Persis siang hari tadi, tetapi ada sedikit perbedaan. Kali ini, Jungkook bersuara.




“Alay baca apaan?” menggigiti martabaknya sebelum berucap kembali, “serius banget. Biasanya kamu paling malas buat baca-baca gituan.”




Duyên︱vk.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang