7. Udah Putus?

Mulai dari awal
                                    

"Kata Rista, aku nggak nonton kok."

Ganesh pun mengangguk. Meskipun sejujurnya ia juga tak menanyakan dari mana Jeya mendapatkan info itu.

"Makasih ya, Nesh." Jeya memberikan senyumannya sebelum menghadap ke depan, bersikap seperti murid teladan.

"Je?" ucap seseorang dari sisi kanan Jeya setelah beberapa saat, Sica.

"Iya?"

"Bukannya kata lo, lo udah putus?" Sebelah alis Sica agak memiring

"Iya," jawab Jeya dengan yakin.

"Kok...." Sica terlihat aneh. Seperti orang yang diliputi banyak pertanyaan.

"Kok?" beo Jeya karena Sica pun tak kunjung melanjutkan kalimatnya.

"Nggak papa, hehe...."

oOo

"Je, serius nggak mau ke kantin?"

"Gue tidur aja, ngantuk," ucap Jeya yang setengah bergumam karena dirinya kini sudah menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja. Ulangan tadi begitu menguras tenaganya, meskipun Jeya yakin akan diremidial, namun setidaknya ia tahu bahwa Bu Dirta bukan orang sekejam itu bagi mereka yang berkemampuan payah seperti Jeya. Bu Dirta itu hanya tidak suka pada orang yang lalai, abai, terhadap yang ia tugaskan, soal nilai itu urusan belakangan.

"Yaudah mau nitip nggak?

Jeya menggeleng.

"Oke deh, gue pergi dulu. Met Bobo Jeya sayang." Rista menarik pipi Jeya, membuat si empu seketika bangkit dengan raut kesal sementara dia sudah melarikan diri dengan tawa jahanamnya.

"Usil banget sih!"

Jeya pun menarik napas sebelum kemudian kembali pada posisi tidurnya. 20 menit, mungkin ia bisa mendapatkan energi dari untuk bisa mengikuti pelajaran olahraga nanti.

Namun baru saja Jeya memejamkan mata, seseorang memanggil namanya.

"Kak Jeya?"

Dengan enggan Jeya pun menegakkan tubuhnya lagi. Ada embel-embel Kak, artinya dia bukan teman sekelas Jeya. Jeya jadi tak punya kuasa untuk memarahi karena sudah mengusik acara pengisian energi ini.

"Ini, dari Kak Ganesh." Siswi yang dari badge di baju saja menunjukkan bahwa dia anggota OSIS itu menyerahkan air mineral juga roti ke hadapan Jeya.

"Dari Ganesh?" Jeya mengulang untuk memastikan.

"Iya. Kak Ganeshnya lagi mimpin rapat, jadi aku yang bawain buat Kakak," jelas siswi itu seraya senyum-senyum tersipu entah apa maksudnya.

"Ih ... sumpah ya Kak, kalian itu sweet banget, couple goals pokoknya."

"Hah?"

"Eh, aku lancang ya Kak? Maaf abisnya aku suka sama kalian berdua. Janji deh aku pengagum yang nggak ganggu privasi."

"Eh bukan-bukan begitu. Maksudnya aku sama dia bukan couple lagi, kita udah putus."

"HAH?!"

Jeya hampir saja meloncat mendengat suara dahsyat si adik kelas itu. Anak yang terkesan lugu serta malu-malu itu sirna seketika.

"Kakak jangan bohong deh!" Anak itu menghentakkan kaki dengan kuat. Membuat Jeya seketika waswas. Anak itu bukan ahli Taekwondo 'kan?

"Bo--bohong apa?"

"Kakak lagi nge-prank ya? Mau bikin aku yang nge-ship kalian berdua sedih ya?!"

Jeya menggaruk kepalanya tak mengerti. Nge-prank? Nge-ship?
Tapi kenyataannya 'kan dia dan Ganesh memang sudah putus. Jeya bicara yang sebenarnya kok.

"Kita beneran udah putus."

"Kalo udah putus, terus kenapa Kak Ganesh masih perhatian?!"

"Perhatian?"

"Ah pokoknya aku sedih!" cewek itu menghentakkan kaki lalu pergi dari ruang kelas Jeya dengan mood buruk.

Jeya yang masih bertanya-tanya pun bingung. Ia meraih roti dan air mineral yang dibawa adik kelas itu.

"Perhatian?" gumamnya. "Emang Ganesh perhatian apa?" lanjutnya dengan wajah bingung.

oOo

"Je, bangun."

"Duluan aja Ta,z kalo udah ada Pak Restu, lo baru telepon gue."

"Ini Ganesh."

Jeya sedikit mengangkat wajahnya, matanya terbuka sedikit. "Eh iya," gumamnya lalu kembali terpejam dan meletakkan wajahnya pada meja sebelum tangan Ganesh menahan pipi cewek itu.

"Yang lain udah pada ke lapangan, kamu bahkan belum ganti baju."

"Ngantuk." Jeya malah menggerak-gerakan kepalanya, mencari posisi nyaman pada telapak tangan lebar Ganesh itu. Lumayan ternyata.

"Katanya mau jadi murid yang berdedikasi."

"Buat hari ini, bolos dulu."

"Pak Restu pasti marah, kecuali kalo kamu emang sakit."

"Yaudah, aku sakit aja."

"Jeya."

"5 menit deh."

"Je...."

Jeya pun menegakkan tubuhnya dengan wajah kesal. Kalo Ganesh sudah memanggilnya dengan satu suku kata lalu diberi penekanan yang agak memanjang, artinya Jeya tak bisa menolak.

"Ganesh...." Jeya menghenak-hentakkan kakinya.

Dan Ganesh pun tahu, meski Jeya merengek begitu, Jeya sudah mau mengikuti perkataannya.

"Eh bentar, kok nggak dimakan?" tanya Ganesh begitu melihat air juga roti yang tadi ia titipkan ke adik kelas itu masih dalam keadaan utuh.

"Belum," jawab Jeya seraya menggaruk kepala dengan wajah masih mengantuknya. Dengan mata yang sedemikian beratnya, mana sempat Jeya mendengarkan demonstrasi cacing-cacingnya.

Jeya sedikit menundurkan wajahnya karena nyaris saja bersentuh dengan wajah Ganesh ketika cowok itu meraih roti yang memang tadi Jeya letakan di meja Sica, belakangnya.

Barulah ketika Ganesh kembali pada posisinya, wajahnya kembali menjauh dari wajah Jeya, Jeya menarik napas lagi.
Jeya pun baru menyadari jika barusan ia spontan menahan napas. Sepertinya refleks bawah sadarnya bagus. Orang bangun tidur kan mulutnya bau, kasihan Ganesh kalo terkena hembusan napas Jeya itu. Mungkin begitu maksud si alam bawah sadarnya.

"Makan dulu, aku tungguin." Ganesh menyerahkan roti yang sudah dibuka pembungkusnya itu ke hadapan Jeya.

oOo

Sisi yang nggak readers ketahui:
Dalam hati Jeya, "Hah Ganesh perhatian? Emang dia perhatian gitu? Perhatian apa?"

090721

Katanya Mantan [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang