Part 2

29 7 0
                                    

Pagi yang cerah mengawali semangat para santri juga santriwati untuk menuntut ilmu. Sepanjang jalan setapak, hanya melihat wajah dan senyum merekah dari semua santri. Walau ada yang saling bertengkar, juga ada yang main kejar-kejaran, di pagi yang indah membuatnya damai dan segar. Angin pagi berhembus pelan, mentari bersinar cukup terik.

Para santri berjalan sambil menenteng kitab dan buku pelajaran. Mereka berjalan bersama saling tertawa dan bergurau. Pemandangan yang menentramkan hati. Meski hanya di sebuah desa, tapi tidak menjenuhkan dan membuat mata bosan memandang.

Langkah kaki mereka memasuki gerbang area ponpes. Ponpes yang bernama “Darul Ilmi” ponpes yang melahirkan bakat dan prestasi para santri. Juga menjadikan santri mempunyai akhlak yang baik dan berbudi pekerti santun.

Ponpes ini diasuh oleh kiai ternama di desa ini. Namanya kiai Abdul Salim—biasa dipanggil Kiai Abdul. Otaknya yang cerdas, serta ketawadhuannya membuat siapa saja kagum dengannya. Kiai Abdul adalah lulusan universitas Kairo, Mesir. Ia menempuh pendidikan di sana  kurang lebih 10 tahun—semenjak ia berumur 20 tahun. Kepulangannya dari Kairo membuat dirinya ingin mendirikan sebuah ponpes.

Teng teng …

Suara lonceng berbunyi. Menandakan waktu belajar dimulai. Para santri yang awalnya duduk di depan kelas segera berhamburan masuk ke kelas. Mereka segera duduk anteng di bangku masing-masing.
Terlihat para ustad satu per satu memasuki kelas yang diajar. Satu ustad laki-laki berpawakan tinggi dengan badan sedang memasuki kelas “3”. Hanya raut wajah datar yang ditunjukkan oleh ustad itu.

“Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh!” sapa ustad itu sambil menatap para santri.

“Waalaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh, ustad!” jawab para santri dengan tegas.

“Silakan ketua kelas memimpin doa!”

“Berdoa mulai!” ketua kelas memimpin doa. Semuanya menundukkan kepala sejenak sambil merapal kan doa sebelum belajar dan beraktivitas.

“Berdoa selesai!”
Semuanya kembali mendongak. Lalu ustad memulai pelajaran.

“Kalian buka kitab Aqidatul Awam. Pelajari, setelah itu setorkan hafalan ke saya, paham!” para santri mengangguk paham lalu mengikuti perintah ustad itu.

Ustad itu duduk sambil membaca sebuah buku, bukan kitab. Semacam buku umum yang dibaca kalangan remaja. Matanya yang agak sipit fokus meneliti setiap tulisan di buku itu. Bibirnya juga ikut komat-kamit membaca buku dengan suara lirih.
Ustad itu bernama Fatih Al Husaini. Dia adalah ustad muda di ponpes Darul Ilmi. Awalnya Fatih menolak untuk menjadi ustad. Tapi kiai Abdul memaksanya. Fatih juga lulusan dari ponpes ini. Ia sebenarnya ingin melanjutkan kuliahnya di Kairo. Iya, meski Fatih juga lulusan kairo. Tapi ia ingin menambah masa kuliahnya. Namun, abi dan uminya tidak mengijinkannya.

Sebagai anak yang baik, Fatih harus menuruti keinginan orangtuanya. Ia tidak ingin harapan orangtuanya pudar begitu saja. Orang Tua Fatih ingin, jika Fatih menjadi ustad di ponpes Al Farabi. Usianya masih cukup muda. Bisa dibilang ustad termuda di desa.

Fatih menutup buku lalu beranjak dari kursi. Ia berjalan mengelilingi bangku santri. Ia tidak ingin ada santri yang ketahuan bermain-main sewaktu hafalan atau di kelas.

Matanya mendapati santri yang sedang tidur—tepat di bangku pojok belakang. Ia melangkahkan kakinya menghampiri santri itu.

Brakk

Pukulan meja yang kuat membuat para santri terlonjak kaget, begitu juga dengan santri yang terbangun dari tidurnya. Santri itu mengucek matanya pelan. Matanya mengerjap melihat sosok laki-laki di depannya.
Fatih menatap tajam santri itu—tanpa tersenyum. Santri itu meneguk Saliva nya pelan. Tatapan Fatih bisa membuat santrinya  ketakutan.

Lauhul MahfuzkuWhere stories live. Discover now