"Apa, dah? Kenapa jadi dia-dia pada yang lo sebut? Dia berdua teman gue, Dim. Kagak ada yang namanya lebih. Kan, lo tahu- gue sama dia-dia pada emang dekat dari dulu. Kemana-mana bareng kalau nyari barang. Kalau nggak sama Suzan- ya, sama Juni. Kalau, nggak- ya, dua-duanya."
Dimas menggeleng dramatis sembari berdecak beberapa kali, "Awas, ya- sampai one day lo ke makan omongan lo sendiri. Makan, tuh, teman!"
"Emang, iya- gue cuma teman sama dia!"
"Heh..."
Keduanya lantas menghentikan pertikaian, dan menoleh ke arah sosok yang baru saja menginterupsi. Pemuda yang surainya hampir menutupi seluruh lehernya- tiba-tiba datang bergabung dan mengambil posisi ditengah-tengah keduanya. Sebuah kemeja bermotif kotak-kotak disampirkan asal disebelah bahunya.
"Kagak malu, noh- dilihatin kucing."
Pemuda itu mengedikkan dagunya pada seekor kucing yang entah sejak kapan sudah ada disana, menontoni adegan keributan Theo dan Dimas.
Ah...
Theo dan Dimas.
Mereka satu angkatan, satu jurusan, satu kelas, dan... satu bangku pula. Meskipun jarang terlihat bersama, tapi sekalinya bersama... pasti tidak pernah tidak ribut. Selalu berakhir ribut.
"Darimane, lo?" Dimas bersuara, melupakan kejadian sebelumnya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
"Mulung."
Baik Theo maupun Dimas, keduanya sontak menjauh sembari menjepit hidungnya dengan jarinya.
"Pantas bau sangit..."
"Anjrit."
"Ah... lagian emangnya Si Tata ngapain lagi gentayangan di kampus- kalau kagak ngurus skripsi. Ya, nggak, Ta?!" Theo merangkul bahu pemuda yang disapa Tata itu.
Dimas lagi-lagi memasang ekspresi mencibir, "Sok! Lagian ngapain, sih, lulus cepat-cepat?! Buru-buru amat."
"Ya, lo ngapain betah amat hidup di kampus?! Benaran pengen jadi mahasiswa abadi?!" Tata menyahut sarkas, "Gilee, kali. Kasihan Emak gue... udah janda- masa iya guenya juga kagak udah-udah nguli-nya?! Gue juga kudu kerja, lah."
Theo terkikik, "Janda banget, nggak, tuh?!"
"Aaahh... anjir... akhirnya nyampai juga di dunia yang penuh makhluk pengangguran ini..."
Seorang pemuda lainnya tampak baru datang dan langsung menghampiri ketiganya, kentara sekali gurat lelah diwajah tampannya. Sosok itu langsung menjatuhkan ransel yang berisi gitarnya ke atas tanah berumput, disusul dengan tubuhnya yang juga dijatuhkannya dengan sengaja, bagai tak memiliki tulang.
"Darimana, Baginda? Habis nguruk emas?" Tata meledek.
"Kafe- ngamen. Capeeeek~"
Ketiga pemuda yang masih tenang diatas bangkunya itu hanya diam menatap temannya yang sudah seperti ikan sekarat dibawah sana.
"Heh, Res." Theo menyenggol teman dibawahnya itu dengan ujung sepatunya, "Lo udah sampai, kan? Kalau gitu gue balik, ya."
"Belum nyampai, baru nyawanya doang ituuu." Tata menyambar acuh.
"Dih, dih, dih, dih!!" Ares yang semula telungkup malas langsung mengubah posisinya, menarik ujung celana Theo- menahan pemuda itu agar urung bergerak. "Apaan, langsung pergi?! Ntar dulu, lah, njir!! Orang, tuh, ada serah terimanya dulu, lah. Jangan main langsung cabut!!"
"Serah terima, apaan?!! Lo kira Juni barang?!" Theo berteriak, "Gue udah ngomong lagian sama dia- kalau bakal dijemput sama lo. Dia udah tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika Liku Jejak Luka
RandomYang namanya hidup, pasti langkahnya penuh dengan lika-liku. Dan pastinya... selalu diselingi dengan luka. Baik itu luka fisik, maupun non-fisik. Meskipun tak terlalu nampak, karena para bujang dan mojang Karawang ini selalu pandai menutupinya. Hing...
15. -Tentang Si Sulung (Mas dan Abang)-
Mulai dari awal