"Hahaha," tawa keras pamannya, Irza. Berubah seratus derajat dari emosi sedih sebelumnya.
"Baiklah, jadi ini yang kalian inginkan!" kecewa Revan.
"Mengapa kalian di rumah saja! mengapa kalian tidak melakukan tindakan apapun dan diam saja begini, hah!" gertak Revan tidak terima dengan reaksi orang-orang di depannya yang terkesan aneh.
"Lupakan! Ini sudah takdir!" nada tinggi lantas terlontar dari mulut kakeknya.
"Apakah seperti ini cara memperlakukan orang yang meninggal?" tatap Revan nanar. Empat orang berumur dewasa itupun hanya menulikan telinganya.
"Aku pergi! Baiklah jika itu yang kalian inginkan. Aku pun semakin yakin kalau hati kalian memang tak jauh beda dari iblis!" Revan yang sudah tak habis pikir pun lantas mengambil sepedanya, dan melajukannya ke sebuah rumah sakit.
"Hei bocah! Kau sama saja seperti ayah dan ibumu. Keras kepala!" teriak pamannya yang sudah tidak digubris oleh Revan.
Rumah sakit
Revan sudah sampai di rumah sakit dan berlari ke sana kemari tidak tahu arah. Ia pun mencari kamar jenazah. Tepat di depan pintu dan akan membukanya tangannya pun bergetar hebat. Nalurinya pun memastikan apakah ia sedang di alam mimpi atau kenyataan. Sangat suram dan ia sungguh tak mempercayainya. Perlahan, dengan sedikit ragu yang menyertai, dibukalah kain putih yang menutupi dua manusia yang tak bernyawa di sana. Degggg, betapa terkejutnya Revan. Kakinya pun melemas, merasa tak berdaya untuk sekadar bangun.
"Si-siapa yang melakukan ini? Revan tak percaya, Yah/Bu. Mengapa? Mengapa kalian meninggalkanku? Aku harus sama siapa setelah ini? hikss," tangis Revan pecah seraya memeluk dua tubuh orang tuanya yang sudah terbujur kaku di sana.
"Maaf, Nak. Kami tak bisa memproses kasus ini. Orang tuamu itu terbukti bunuh diri."
"Apa? Mengapa Anda tak memeriksa orang yang ada di rumah?"
"..."
"Pak!" geram Revan tak setuju akan perkataan polisi di depannya.
"Bawa anak ini keluar!" titah polisi itu.
Flashback off
Ah, gila. Bisa-bisanya jadi tak fokus. Pemuda itu pun lantas menggelengkan kepalanya cepat. Lanjut, ia pun melangkahkan kakinya ke tempat kursus itu kemudian menelusuri tiap lorong kelas. Baginya, ia tidak menemukan sesuatu yang baru di sana. Ia merasa payah karena sudah lama tidak mengurus usaha milik dirinya dan kakek dari pihak almarhum ibunya itu.
Pukk!
Seseorang menepuk bahunya pelan dengan gulungan kertas.
"Kamu sudah semakin dewasa saja." Seorang wanita dengan setelan kemeja rapihnya menghampiri Revan yang sedang melihat ke setiap sudut ruangan kelas di sana.
"Kayla?" sapa Revan, sambil memastikan.
"Iya, lama sekali aku tidak melihatmu," jawabnya.
"Haha, iya ...,'' jawab Revan sambil terkekeh.
"Ini, minumlah." Kayla pun menyodorkan sebotol minuman ion ke Revan.
"Oh, terima kasih," balas Revan sambil tersenyum tipis.
"Omong-omong, aku jadi teringat saat pertama kali mendaftar menjadi pengajar di kursus ini satu tahun yang lalu. Aku ... merasa beruntung saja bisa mengenalmu. Kau ini keren, di umur yang muda seperti sekarang ini kau punya banyak perusahaan, dan restoran yang terkenal," puji Kayla panjang lebar yang mana membuat Revan sedikit heran.
"Aku hanya bisa berterima kasih padamu karena kau juga bagian dari orang yang mau membantuku memajukan kursus yang kubangun ini," sambung Revan sambil tersenyum simpul.
"Menjadi pengajar di sini rasanya bisa membuatku bahagia. Sebenarnya aku merasa tak pantas mendapatkan hak untuk melanjutkan studiku. Aku juga terlalu mengkhayal kala itu yang mana membuat membuat orang lain sangat menderita karenaku," curhat Kayla dengan ekspresi murung.
"Kau pasti bisa jadi PNS, kau kan pintar. Bahagiakan orang tuamu yang yang menyekolahkanmu dengan susah payah," respon Revan.
"Kau benar. Tapi aku memang sangat kecewa. Namun, gimana lagi? Aku merasa tak pantas mendapatkan apapun," jawab Kayla tak jelas yang mana membuat Revan mengernyit bingung.
"Maksudmu?" bingung Revan sembari menatap dari samping wajah gadis itu.
"Tidak ada ...." Kayla pun menggigit bibir bawahnya.
"Oh, begitu." Karena canggung, Revan pun beralih menatap pepohonan yang ada di depannya sembari mendongak, kemudian menghela napasnya karena cukup sesak. Entahlah, ia juga baru sadar ternyata di samping kantor kursus ada taman sebagus itu.
Kapan aku istirahat, Tuhan? batinnya pelan. Aku pun baru saja menyadari jika sisa hidup ini hanya untuk mencari uang dan uang.
"Van, boleh minta nomor hp mu?" pinta Kayla sambil menyodorkan ponselnya ke Revan.
"Oh, iya iyaa. Maaf, nomorku sudah terblokir, jadi ini pakai yang baru," respon Revan sambil menuliskan sejumlah nomor pada gawai milik Kayla.
"Humm, gakpapa," balas Kayla maklum. Tanpa disadari oleh Revan, Kayla pun menatap Revan dari samping dengan penuh arti.
"Sudah," kata Revan sambil tersenyum simpul.
"Ohh i-iya." Kayla pun gelagapan karena ketahuan sedang memperhatikan pemuda itu.
Diam...
"Makasih," lanjut Kayla.
"Sama-sama,"balas Revan. Ia pun beralih beranjak dari kursi sana. Benar sekali, ia menyadari kalau sedari tadi Kayla memperhatikannya. Hanya saja Revan mencoba untuk biasa saja.
"Hufthhhhh." Kayla menghembuskan nafasnya panjang, menatap punggung bidang itu yang perlahan kabur dari penglihatannya.
TBC
____
Vote dan comment-nya, ya ❤❤❤
Senang sekali jika ada yang mau membaca ceritaku ini, thank you💋!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
FanfictionHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...
6. Gone •
Mulai dari awal