Masih dengan senyum merekah, Freya menggelengkan kepalanya. "Enggak, kok. Gue gak apa-apa." Lalu, Freya mengeluarkan ponselnya. Dia membuka fitur galeri dan memperlihatkan foto seorang laki-laki pada Juna. "Menurut lo, dia gimana? Ganteng?"
"Gak. Jelek banget," jawab Juna, tak acuh.
"Enak aja! Ganteng, tahu! Lebih ganteng dari lo!" sewot Freya sambil mendaratkan pukulan di bahu Juna. "Dia anak IPA 1, namanya Rigel. Udah beberapa hari ini dia chat gue. Pernah kasih gue cokelat juga. Orangnya ganteng, asik, baik lagi. Terus, kita gak pernah kehabisan topik gitu. Cocok banget, deh!"
"Pernah jalan bareng?"
Freya menggeleng, sementara Juna mengangguk puas.
"Kalau dia ajak jalan, kasih tahu gue. Jangan jalan berdua. Sekalian gue juga mau tes, dia beneran baik atau cuma pura-pura baik sama lo." Tangan Juna terulur mengusap puncak kepala Freya. "Gini-gini juga gue sayang sama lo, Re. Gue tetep pengen cowok baik dan tulus yang jadi pacar lo."
Seperti gadis lain, Freya sangat bangga untuk menceritakan laki-laki pujaan hatinya pada Juna. Mulai dari bagaimana Rigel menghubunginya sampai beberapa kali saling curi pandang saat di kantin. Walaupun terlihat tak tertarik, sebenarnya Juna juga mendengarkan dengan seksama. Dia memberikan penilaian sebagai sesama laki-laki. Karena seperti yang dikatakan, dia ingin Freya mendapatkan laki-laki baik. Biarpun ia sendiri juga adalah buaya pemain wanita.
Sayangnya, perbincangan penuh semangat itu berganti dengan tangisan pilu saat Freya tahu Rigel hanya mempermainkannya. Dia mengatakan semuanya saat Juna bertanya. Freya sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu bisa menyeret Juna ke ruang BP karena bertengkar dengan Rigel.
"Kenapa ngelihatin gue kayak gitu? Gue makin ganteng, ya?" tanya Juna begitu keluar dari ruang BP. Pelipisnga biru dan sudut bibirnya robek. Sementara dia masih bisa menggoda Freya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, Freya melangkah mendekati Juna. "Sakit, ya?" Suara Freya terdengar serak, tetapi dia tetap melanjutkan. "Kenapa lo malah hajar dia, sih, Jun? Jadinya makin panjang, 'kan? Gimana kalau entar papa lo—"
"Sssut!" interupsi Juna sambil meletakkan telunjuknya di depan bibir Freya. "Kuping gue sakit. Jadi, ngomelnya entar aja. Sekarang kita ke kantin dulu aja, ya? Bantuin kompres wajah ganteng gue." Tangan Juna beralih menarik pergelangan Freya dan segera melangkah meninggalkan koridor ruang BP.
Freya hanya mengikuti langkah Juna. Matanya menatap punggung tegap laki-laki itu. Kini ia sadar, sebaiknya tidak memberi tahukan patah hatinya pada Juna. Karena jika Freya mengadu, Juna akan terlibat masalah. Terutama dengan papanya.
"Kayaknya, gue mau putus sama Risti, deh," cetus Juna tiba-tiba.
Mata Freya membelalak seketika. Dia langsung memusatkan perhatiannya pada Juna. "Hah? Kenapa? Kok, putus?"
"Gak ada alesan lagi buat gue bertahan." Juna membalas tatapan Freya. "Gue sayang sama cewek lain."
Terdengar helaan napas lelah dari Freya. Dia hanya geleng-geleng kepala sembari kembali memperhatikan kesibukan para mahasiswa. Masa bodoh dengan pengakuan Juna atau siapa pun gadis itu. Freya tidak mau memikirkannya untuk saat ini.
***
Langkah Freya kian melambat saat memasuki ruang tengah indekos. Matanya tertuju pada perempuan yang mengenakan mini dress hitam yang tengah duduk di kursi. Kali ini, bibirnya menggunakan lipstik shoking pink. Semua yang menempel padanya terlihat begitu mewah. Berbanding terbalik dengan Freya yang hanya menggunakan kaus, jins panjang, dan sepatu kets.
Dia, Evelyn.
"Hai, Freya," sapanya sambil melambaikan tangan. "Jangan bengong di sana, dong. Sini, duduk sama gue."
Walaupun ragu, Freya melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Dia mendaratkan omong tepat di seberang meja. "Kok, lo tahu gue tinggal di sini?"
"Itu sama sekali gak penting, Freya. Maksud gue datang ke sini juga bukan buat bahas itu." Evelyn membuka tasnya. Dia mengambil beberapa foto dari sana dan menyimpannya di meja. "Gue yakin, Vian pasti bilang kalau gue bukan pacarnya dan gak ada apa-apa di antara kita berdua. Tapi, gue ke sini buat kasih bukti kalau omongan gue emang benar. Gue pacar Vian."
Kening Freya berkerut seketika. Matanya turun menuju foto-foto yang kini sudah ada tepat di depannya.
Ada banyak sekali foto di sana. Semua menunjukkan kemesraan Vian dan Evelyn. Foto mereka makan malam romantis, Evelyn yang duduk di pangkuan Vian dan mencium pipinya, juga mereka yang memandang keindahan matahari tenggelam di pesisir pantai. Pemandangan NYC Times Square, The Egg, Brooklyn Bridge dan tempat terkenal lainnya menjadi latar foto mereka. Di semua foto itu, keduanya terlihat sangat bahagia dan saling mencintai.
Dan tidak bisa dipungkiri, hati Freya tercubit melihatnya.
"Apa maksud lo memperlihatkan semua foto-foto ini?" tanya Freya dengan napas tercekat.
"Buat pukul mundur lo, supaya menjauh dari Vian," jawab Evelyn, penuh kemantapan. "He's handsome, charming, and ... rich. He lived in a city with unlimited freedom. Do you think he will choose to be a faithfull prince? No, Freya."
Freya terdiam. Dia berusaha percaya pada Vian. Namun, sialnya ucapan Evelyn ini masuk akan juga. Vian punya segalanya yang memungkinkan dia untuk bertindak sesuka hati.
"Gue sama dia berpacaran sejak awal masuk kuliah, jadi gue tahu banget dia kayak gimana. Dan ini bukan kali pertama dia selingkuh." Evelyn terkekeh geli. "Dia sering pergi dari gue, tebar pesona ke cewek lain, bersenang-senang dengan mereka, lalu balik lagi ke gue." Kemudian, Evelyn memajukan tubuhnya. Matanya menatap lurus netra Freya. "Buat Vian, gue adalah tempat berlindung dari otoritas bokapnya yang gak main itu."
Bibir Freya semakin bungkam. Bahkan, Evelyn tahu tentang Pak Emir. Itu artinya, hubungan mereka memang bukan main-main.
Foto-foto di atas meja kembali diambil oleh Evelyn. "Cuma itu yang mau gue sampaikan. Kalau lo cewek pintar, seharusnya lo menjauh dari dia. Karena kalau lo semakin jatuh, lukanya juga akan semakin menyakitkan. See you, Freya." Evelyn bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja.
Sementara Freya masih mematung di tempatnya berdiri. Memang tidak bersuara, tetapi hatinya patah di dalam sana. Freya berusaha percaya pada Vian, tetapi rasanya kian sulit. Dan Freya takut untuk jatuh semakin dalam. Karena dia belum siap merasakan sakitnya cinta.
*
*
*
Mana pendukung Vian? Masih istiqamah?
Ada yang berani nyakitin kesayangan gue?
Bini Ceye,
19.03, 23 Agustus 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Fall [Tamat]
ChickLitJika untuk perempuan lain Juna adalah buaya darat yang pesonanya tidak bisa ditolak, bagi Freya dia hanya laki-laki tengil yang gemar membuatnya dalam masalah. Di balik sikapnya yang brengsek, dia adalah anak manja yang akan langsung merengek saat F...
31. Hesitant
Mulai dari awal