Seketika terlintas dalam pikiran Gibran sebuah ide, entah kenapa sepertinya ia harus melakukan hal itu. Sebenarnya ide yang baru saja melintas di pikirannya, tak lain karena ia teringat perkataan Deni yang selalu membahas tips dan trik ala dia.
Gibran semakin mendekat ke arah Arinta, lantas memegang kedua pundak perempuan di depannya dengan kedua tangannya dan beralih tangan kirinya yang memegang alis kanan Arinta. Tak sampai disitu saja, Gibran membisikkan sesuatu di telinga Arinta.
"Pulang sekarang," bisik Gibran.
Hal itu membuat Arinta meneguk ludahnya sendiri, jantungnya kini berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan ia bisa merasakan embusan napas milik Gibran. Untuk menjauh dari Gibran sekarang pun rasanya mustahil, kakinya seolah tak mau digerakkan.
Embusan angin seolah mendukung kedekatan Gibran dengan Arinta saat ini. Hingga seorang pria paruh baya dengan pakaian yang penuh akan tanah, serta cangkul di tangannya mendekat ke arah mereka dan menyentuh pundak Gibran.
"Sedang apa kalian berduaan di kuburan seperti ini?"
Gibran dan Arinta kembali ke posisi awal, saling berjauhan. Keduanya sama-sama terdiam.
"Eh, ditanya orang tua malah diem. Kalian mau berbuat hal buruk, ya? Masih muda sudah berani berkelakuan nekat seperti tadi, untung bapak lihat."
"Maaf, Pak, tetapi dia ini istri saya."
Kedua mata Arinta melotot, mendengar perkataan Gibran barusan. Di tambah sekarang Gibran malah merangkul pinggangnya.
"Oalah, kalian berdua ini sudah menikah toh? Nikah muda, ya?"
"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf jika telah membuat bapak tidak nyaman."
"Ya sudah bapak tinggal dulu. Lain kali kalau mau bermesraan di kamar, bukan di kuburan kayak tadi."
Usai kepergian bapak itu, Arinta menginjak kaki kanan dan memukul dada bidang milik Gibran. Saat ini ia benar-benar kesal dengan Gibran.
"Maksud Kak Gibran ngomong kayak tadi apa?"
Gibran malah tersenyum. "Saya juga tidak tahu, tadi saya spontan mengatakan hal itu. Lagi pula perkataan juga bisa menjadi doa."
Gue kenapa malah tambah baper gini, sih? Nggak! Nggak! Gue nggak boleh gini. Arinta menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa geleng-geleng? Anda sedang membayangkan kehidupan kita nanti?"
Lagi-lagi Arinta dibuat melotot oleh Gibran. "Gak! Jangan ngarang deh, Kak! Lebih baik sekarang pulang."
"Akhirnya," gumam Gibran yang mungkin tidak terdengar oleh Arinta.
Tenyata Gibran tidak membawa Arinta pulang, melainkan ia berhenti di warteg bertuliskan milik Bu Rahmi itu.
"Kenapa kita ke sini?"
"Warteg di sini menjual apa?" Gibran justru bertanya balik.
"Makanan."
"Makanan untuk di?"
"Di makan lah, Kak."
"Pintar! Sekarang Anda duduk di sini, biar saya yang pesan makanan."
Lima belas menit kemudian, Gibran kembali dengan dua piring berisikan nasi lengkap dengan lauknya. Lantas meletakkan di atas meja, ia kembali lagi untuk mengambil minuman.
"Sekarang Anda makan, terus kita pulang dan jangan membuat saya melakukan seperti tadi di pemakaman."
"Iya, deh iya! Makasih sekali lagi."
Keduanya sama-sama melahap makanannya masing-masing. Ditemani ramainya kendaraan yang lewat karena warteg Bu Rahmi terletak di pinggir jalan.
"Saya harap Anda tidak menangis lagi, karena saya janji akan menjaga Anda selagi saya mampu," gumam Gibran.
"Hah? Kenapa, Kak? Kak Gibran ngomong apa barusan?"
"Tidak penting. Lanjutkan makannya baru saya antar Anda pulang."
.
.
Ada yang kesel sama Arinta? Atau Gibran?
Kalau kesel bilang lah. Wkwkwk
Jangan lupa Vote dan Coment -nya 😍
Sekian dan Terima Kasih.
Sampai ketemu di BAB 52.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Salam sayang
Azka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Formal Boy (END)
Teen FictionTentang Aksa Gibran Pratama yang dipertemukan dengan orang yang selalu mengejar cintanya, tak lain adalah Sherina Aliesa Alexandra. Namun, hatinya justru berlabuh pada sahabat dekat Sherin. Selain percintaan, sebuah rahasia keluarga yang disembunyik...
BAB 51
Mulai dari awal