18. Telat lagi

41 9 4
                                    

Happy Reading.

***

"Duh, silau!" seruku ketika baru saja sampai depan gerbang. Samuel mengernyit dan sedikit terkekeh. Kurasa ia mengerti maksudku. Aku pun ikut tertawa karena reaksi yang Samuel berikan.

"Mau pakai kacamata, gak?" tanyanya.

"Emang bawa?"

Samuel menggeleng. "Beli dulu." Aku terbahak-bahak jadinya. "Efek kepala pak kinclong gini amat. Ya udah, yuk, masuk. Nanti malah tambah terik."

"Hahaha, nama gurunya Pak Broto btw," tukas Samuel meralat nama guru kinclong. Haha, aku baru tau namanya.

"Pak kinclong lebih keren."

"ITU ANAK DUA YANG BARU DATENG, CEPAT GABUNG KE BARISAN!" Suara Pak kinclong bagai toa. Membuatku refleks menutup telinga karena bisingnya.

"Bikin jantungan suaranya," desisku yang kemudian berlari bersama Samuel untuk masuk ke barisan, bergabung dengan anak-anak lain yang terlambat.

Ini sudah kedua kalinya. Ah ... telat lagi. Biasanya sih, kalau sekalinya telat, bakal telat terus-terusan. Jangan sampe!

"LARI!" Pak kinclong langsung memberi aba-aba dan langsung dilaksanakan kami segenap murid teladan.

Beginilah balasan untuk murid yang teladan alias telat datang pulang duluan. Mendapat hukuman dan sialnya, ada kakak kelas maupun adik kelas yang sedang melangsungkan pelajaran olahraga. Mendapat malu sekaligus.

Untung tidak ada yang aku kenal. Jadi, its okay.

Aku serius berlari. Sudah kedua putaran. Karena serius lari, aku sampai lupa Samuel. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari cowok itu, tanpa berhenti mengayunkan cepat kaki di putaran lapangan yang sangat luas itu.

Tepat ketika kepalaku menoleh ke arah samping, Samuel baru datang dan berlari di sampingku. Samuel tersenyum simpul, lalu tangannya ia tadahkan ke arahku, kontan membuatku menatapnya dengan tanya.

"Tas lo. Sini, biar gue bawain," kata Samuel. Refleks bibirku menampilkan sebuah senyuman.

"No, thanks. Gue gak mau lo dua kali lipat lelahnya. Kita sama-sama, oke!" Tersenyum, lalu aku menambah kecepatan berlari. Otomatis meninggalkan Samuel lagi.

Belum terlalu jauh, aku terkekeh dibuat Samuel yang juga ikut mempercepat larinya. Samuel lebih cepat, dan langsung menyambar ransel di punggungku hingga diambil alih olehnya.

Samuel berbalik menghadapku yang kini berlari lebih depan dariku. Tanpa berhenti lari, lalu ia berkata, "Tubuh lo kecil, gak kuat bawa tas seberat gajah gini. Apa gunanya saudara lo, hm?" Senyum miring terbit di bibir Samuel.

Sementara Samuel lanjut berlari, aku perlahan berhenti. Napasku terengah-engah, keringat pun sudah bercucuran hingga membuat anak rambutku basah di kening maupun pelipis. Aku memandangi punggung Samuel yang menjauh dari pandangan. Aku tersenyum miris, tiba-tiba teringat satu kenangan. Tepat ketika Samuel berbalik dengan senyumnya tadi, kejadian di masa lalu terlintas cepat di ingatanku.

Aku memicingkan mata untuk mengingat apa yang barusan terlintas. Cuplikan tadi tidak jelas. Sekilas, namun jelas memperlihatkan senyum yang sama seperti yang Samuel lakukan tadi.

Entah sebab apa, jantungku berdegup kencang. Aku lalu memejamkan mata, berharap cuplikan tadi kembali ke pikiranku.

Nihil. Aku tidak mengingatnya lagi. Tidak bisa.

"Abii, satu putaran lagi!" Suara Samuel menyadarkanku dari lamunan. Aku dengan kikuk mengangguk dan kembali berlari.

***

𝐒𝐢𝐧𝐲𝐚𝐥 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 (𝓞𝓷 𝓖𝓸𝓲𝓷𝓰)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang