015/ Kompor alami:)

Mulai dari awal
                                    

Zahra diam membisu, ia menurunkan tangannya. Aktivitas rutin yang biasa ia lakukan, kini digantikan oleh Tiya.

"Oh iya Azka, kamu - "

"Diam," gertak Ridwan, ia rasa istrinya sudah mulai kurang ajar.

"Ini waktunya makan, untuk berbicara ada waktu lain," ujar Ridwan dingin. Wulan diam seketika ia melanjutkan kegiatan makannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

***

Acara sarapan pagi sudah selesai. Kini mereka sudah berada di teras rumah. Zahra memiliki kepentingan untuk mengantarkan Azka, meski hanya sampai teras rumah.

Begitu juga dengan Wulan, berbeda dengan Tiya yang hanya mengekor di belakang mereka.

"Tiya, kamu kenapa disitu?"

"Ayo sini sayang, masa kamu enggak ngater calon suami sendiri sih," ujar wulan memanggil Tiya.

Tiya mengulurkan tangannya berniat untuk mencium punggung tangan Azka, seperti yang dilakukan oleh Zahra tadi. Tiya mengharapkan balasan ciuman di keningnya, seperti yang didapatkan oleh Zahra.

"Aku berangkat dulu ya, assalamualaikum," pamit Azka menghiraukan kehadiran Tiya.

"Waalaikumsalam," jawab Zahra melambaikan tangan, melihat kepergian Azka dengan mobil kerjanya.

"Makanya jadi orang jangan keganjenan," ujar Ridwan pergi menyusul Azka, menggunakan mobilnya sendiri.

"Enggak papa sayang, nanti kita belanja aja. Biar kamu enggak stres di rumah terus," ujar Wulan menyemangati Tiya yang mengerucutkan bibir.

Bagi Zahra, hal itu terlihat menyebalkan dan membuatnya ingin muntah sekarang juga.

"Makasih Ma," jawab Tiya semangat.

Zahra berlalu masuk rumah meninggalkan dua orang itu, ia menghiraukan semua ucapan yang membuat hatinya terbakar oleh api cemburu.

"Enggak usah cemberut gitu dong, kan tadi Azka udah mulai perduli sama kamu," ujar Wulan membesarkan volume suaranya, bertujuan agar Zahra mendengarkan ucapannya.

"Nanti lama kelamaan, Azka enggak nolak kehadiran kamu sayang," ujar Wulan sekali lagi.

Mulut Wulan bagaikan kompor alami yang bisa panas sendiri tanpa menggunakan gas ataupun api.

"Azka pasti udah punya perasaan lagi sama kamu."

"Masa sih Ma," jawab Tiya mengikuti alur yang dibuat oleh Wulan.

"Iya dong, kan Mama ini Mamanya Azka. Jadi, Mama tau semuanya tentang Azka."

Kali ini Zahra membalikkan badannya, mendengarkan ucapan Wulan yang terakhir.

Apa ia tidak salah dengar?

"Kalau Mama tau keinginan Mas Azka, apa Mama tau kalau Mas Azka hanya menginginkan aku sebagai pendamping hidupnya."

"Apa Mama mengerti bagaimana perasaan Mas Azka yang sebenarnya?"

"Apa Mama pernah bertanya kepada Mas Azka, tentang apa yang ia inginkan?"

Zahra menghela napas. "Mama enggak pernah tau akan itu, justru Mas Azka sendiri yang mengutarakan keinginannya."

Zahra berjalan menjauh dari mereka, tapi bibirnya terus berbicara, hingga setiap kata dan kalimat yang keluar dari mulutnya didengarkan oleh mereka berdua.

"Apa Mama lupa? Apa yang terjadi di ijab kabul kemarin?"

"Mas Azka hanya menginginkan aku, bukan wanita murahan itu," ujar Zahra dengan sengit.

"Maaf jika mulutku terlalu kasar, tapi itu kebenaran."

Zahra berjalan memasuki kamarnya, sebelum ia masuk, ia menyempatkan untuk berucap. "Apakah Mama bisa dianggap seorang ibu? Jika Mama sendiri tidak memahami perasaan anaknya."

Bagaikan tertampar Wulan terdiam mematung, ia termenung.

***

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak kalian.

Terima kasih. Sekian dulu dari saya. Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

IMAMKU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang