Pagi Bersamamu

5 1 5
                                    

Sagitarius

Bandung pagi ini sangat bersahabat. Mentari yang perlahan masuk melewati celah-celah jendela dapur cukup memberiku semangat menyelesaikan apa yang sedang kubuat di pagi hari ini. Tak ada yang meminta, tubuhku bergerak dengan sendirinya ketika mataku baru terbuka.

"Ya, ampun ... Sagitarius! Mama pikir ada maling atau tikus di dapur." Aku kaget melihat Mama tiba-tiba ada di dapur membawa sapu seperti bersiap-siap memukul. "Sedang apa kamu, Gi?"

"Mama bikin aku kaget saja, ih! Masa anaknya imut begini dikira maling atau tikus," ucapku refleks, "sedang bikin sarapan untuk Aries. Hari ini aku mau minta dia menemaniku jalan-jalan, Ma. Itung-itung sogokan," sambungku dengan senyum lebar.

"Sudah putus, masih saja merepotkan Aries."

"Mama!" seruku, kemudian mendorong-dorong Mama untuk menjauh dari dapur.

Jam menunjukan pukul 6.00 pagi. Aku sudah selesai membuat sarapan untuk Aries. Peralatan dapur pun sudah selesai kucuci dan kutaruh ditempatnya. Kupastikan semua sudah rapih sebelum aku pergi Mandi. Kalau tidak begitu, aku tidak akan boleh pergi.

Tiga puluh menit sudah aku bolak-balik dari lemari ke depan cermin, melihat apa yang kupakai terasa tidak ada yang cocok. Begitu terus sampai akhirnya aku asal menyambar pakaian lalu segera berjalan ke pangkalan ojek yang ada di perempatan dekat rumahku, di salah satu perumahan daerah Kopo.

Hanya perlu lima menit aku sudah sampai di rumah Aries. Rumahku dengan rumah Aries memang dekat, masih satu komplek, hanya beda jalan saja. Meski begitu jika jalan kaki cukup bisa dibilang olahraga. Dahulu terkadang Aries bertamu ke rumahku dengan jalan kaki tanpa membawa sepeda motor kesayangannya.

"Assalamu'alaikum." Pelan-pelan aku mengucapkan salam, takut Aries mendengarku. Rencanaku pagi ini mau buat kejutan.

"Wa'alaikumsalam." Terdengar ada suara Ibu Aries menjawab salamku.

"Eh, Nak Sagita. Lama sekali tidak kesini."

Sama seperti halnya mamaku, Ibu Aries juga menganggapku seperti anak sendiri sejak aku pertama kali main ke rumahnya. Sehingga aku dipanggil 'Nak' olehnya yang asli orang Jawa. Aksen Jawanya yang cukup kental, namun dengan tutur kata yang sangat lembut membuat suasana begitu tentram.

"Iya, Ibu. Ariesnya ada?"

"Ada, Nak. Masih tidur di kamarnya. Bangunkan saja."

Kamar Aries ada di lantai dua. Perlahan aku menaiki tangga yang ada di ruang keluarga. Suasana rumah Aries tidak ada yang berubah, masih sama seperti saat terakhir aku kesini ketika kita masih bersama. Aku membuka pintu kamarnya dan benar saja, Aries masih ada diatas tempat tidurnya dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Sejenak aku menaruh sarapan di atas meja kamarnya, lalu aku pergi ke bawah untuk mengambil air.

"Aries!! Bangun!! Siang!!" kataku berteriak di depan Aries sambil mencipratkan air yang kuambil tadi.

"Tsunami!! Tsunami!! Tolong!!" teriak Aries gelagapan.

"Tsunami? Yah, ini anak melindur." Aries tidak bangun. "Ries, bangun sudah siang!" Kali ini aku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

"Gempa bumi!! Tsunami!! Tolong!!" Bukannya bangun, Aries malah makin melindur. Karena sudah kesal aku siram semua air segelas itu ke mukanya. Byurrr

"Banjir!" teriak Aries, tetapi kini ia sudah bangun dan langsung duduk. "Sagita?" sambungnya setelah melihatku ada di samping tempat tidurnya.

"Bukan, Kuntilanak!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KeputusanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang