"Re—"

"Aku mau tidur. Mama keluar aja. Kasihan kolega Mama udah pada nungguin," potong Reanna dengan nada yang dingin.

Ia menutup bukunya, lalu beranjak dari tidurnya. Reanna berdiri dan beralih merebahkan tubuhnya di ranjangnya.

Tangannya mengambil selimut tebal berwarna putih miliknya, lalu ditarik agar menutupi seluruh tubuhnya. Hanya tersisa kepala yang menyembul keluar.

Mama Mei hanya bisa terdiam melihat sikap Reanna yang dingin kepadanya. Mungkin karena Reanna sedang lelah, pikirnya.

"Ya udah, Re. Mama ke bawah, ya? Kamu tidur, ya, Nak." Mama Mei berjalan mendekati ranjang Reanna.

Duduk di tepi ranjang seraya mengusap lembut pucuk kepala anak gadisnya, lalu mengecup singkat kening Reanna. Sebelum akhirnya keluar meninggalkan kamar Reanna.

Setelah dirasa mamanya benar-benar sudah pergi, Reanna yang tadinya memejamkan mata, kini kembali membuka matanya.

Ia memiringkan tubuhnya ke kiri. Menghadap pintu yang sudah tertutup rapat. Pandangannya kosong menatap pintu itu.

Merasa miris dengan kehidupannya yang hanya terpenuhi secara finansial, tanpa batin. Kapan ayah dan mamanya bisa memiliki sedikit waktu untuknya?

***

Selembar foto usang yang menampakkan sebuah keluarga dengan senyum di masing-masing wajahnya, membuat hati Ditto menghangat saat melihatnya.

Namun, membuat semuanya terasa asing dan dingin saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Ketika orang yang selalu ia jadikan pahlawannya, memilih untuk pergi dan meninggalkan Ditto serta ibunya.

Memori pahit yang akan selalu Ditto ingat. Hingga ibunya jatuh sakit, dan ia belum menemukan hilal tentang keberadaan sosok bernama ayah itu.

"Ayah harus tahu, Ditto sekarang udah besar. Udah jadi pengganti Ayah untuk jaga Ibu, tapi ... dimana Ayah sekarang?" monolognya pada selembar foto usang itu.

Jemarinya mengusap gambar pria paruh baya yang tampan seperti dirinya. Terakhir Ditto melihat senyum itu, sudah sangat lama. Enam belas tahun yang lalu.

***

"Aduh, Bar! Lo nggak takut apa jadi sasaran Reanna?"

"Bar, lo tahu, 'kan kalau si Rere sama dua dayangnya itu ganas? Lo mau jadi bahan bulanan dia?"

Cowok dengan seragam yang tidak begitu rapi itu, berdiri dari duduknya. Mengusap wajahnya frustasi. Heran dengan apa yang sudah temannya lakukan.

"Bar, Rere itu bukan sembarang cewek! Lo tahu, 'kan?"

"Nggak usah lebay, Al."

El Barat Razio. Laki-laki dengan sikap tempramen yang tidak teratur, sifatnya bisa berubah kapan saja. Tergantung suasana dan lawan bicaranya.

"Gila lo! Kalau sampai Reanna tahu, lo yang ngaduin dia ke guru kemarin. Habis lo sama dia." Alfarez mengangkat jari telunjuknya ke depan wajah Barat untuk memperingatkan cowok itu.

Alfarez Gunawan. Laki-laki dengan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi. Hobi mengusik ketenangan teman-temannya, apalagi Stefani. Cowok pemilik selera humor terendah di antara teman-temannya itu, sangat hati-hati jika bersenggolan dengan Reanna.

Barat dan Alfarez ada di satu kelas yang sama dengan Reanna. Mereka menghuni kelas 11 IPA 1. Kelas dengan tingkat kepintaran muridnya yang berada di atas rata-rata. Oh, terkecuali penghuni bernama Reanna Sifabella.

Tidak heran lagi, jika berurusan dengan Reanna adalah suatu hal yang mereka hindari sejak satu tahun mengenal gadis blasteran itu.

Sudah satu tahun, mereka baik-baik saja berteman dengan Reanna. Namun, kemarin sepertinya akan menjadi awal tidak tenangnya hidup mereka.

KITA & MESIN KOPITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang