Aku memberinya tatapan yang seolah mengatakan, "apa?" padanya.


"NA-IK, NA-IK," ucapnya dengan membuka mulut lebar-lebar, sambil menggerak-gerakkan tangannya untuk mengajakku naik ke punggungnya.


Astaga! Dia gila! Aku pun kembali melarikan diri melihat tingkah aneh orang itu. Namun tentu saja tak bisa. Dia terus mengikutiku dan tiba-tiba menarik lenganku untuk melingkari lehernya, serta tangannya dengan berani memegangi bahuku.


Kuberi ia sebuah pelototan tak terima. Tapi ia tak gentar sama sekali dan malah terus mengoceh panjang lebar dengan cepat. Sehingga aku tak bisa membaca gerak bibirnya.


Ketika kami masuk ke dalam gedung sekolah, aku berusaha untuk melepaskan diri darinya yang tentu saja tak berhasil.

Ingin sekali rasanya aku berteriak di depan telinganya bahwa kami tengah menjadi pusat perhatian banyak mata. Namun yang bisa kulakukan hanya semakin menunduk dan menerima saja perlakuannya. Jika aku meronta tak terima, kami akan lebih diperhatikan. Dan aku benci perhatian. Hal itu membuat risi sebab rasanya aku bisa mendengar semua hinaan yang mereka pikirkan tentangku. Betapa buruknya rupaku, betapa menyedihkan penampilanku, dan betapa malangnya nasib yang digariskan Tuhan untukku.


Cowok itu menoel-noel lenganku.


"Kel-as lo yang ma-na?"


Astaga, wajahnya konyol banget. Ekspresinya mirip dengan ikan yang megap-megap begitu.


Lalu ia juga membuat gerakan menunjuk ruang-ruang kelas, kemudian menunjuk kembali padaku dengan mulut yang terlihat mengatakan, "Ma-na-ma-na ya-ng ma-na?"


Dasar, dia ini jenis manusia yang seperti apa sih. Namun, yang jelas, aku yakin ia anak baik. Iya, anak baik yang aku bohongi bahwa aku ini bisu dan tuli. Ah, aku cewek jahat. Terus bagaimana selepas ini? Apa aku harus berhenti pura-pura saja, ya? Tidak perlu. Habis ini juga kami tak akan bertemu lagi. Mengapa harus khawatir. Dia juga akan melupakanku dan aku juga akan begitu. Biarkan saja.


Lalu sekarang aku harus membalas pertanyaannya itu bagaimana?


Aku memutar otak kemudian menarik tanganku dari lehernya dan membawa keduanya di depan dada. Mulutku komat-kamit mengatakan, "Se-pu-luh."


"Oh, sepuluh," ulangnya.


Selanjutnya aku membentuk huruf I, P, S, dan 2 dengan jari-jari tanganku.


"Oh, IPS-2. Kelas kita sampingan dong."


Hah? Serius? Tunggu dulu, aku kan memang hidup terisolasi. Wajar kalau tidak sadar.


"Ya udah, ayo!"


Ia membawaku ke kelas.


"I-tu ke-las gue!"


Ia menunjuk ruang kelas di samping kelasku lalu menunjuk dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk dada. IPS-3, kelas yang terkenal dengan keberandalan murid-muridnya. Walau sekolah ini sering disebut elit, tetap saja ada murid-murid bandel yang hobi bikin kerusuhan di sini. Aku sendiri tak mengerti mengapa mereka bisa diterima, sebab untuk masuk ke sini ada tes tulisnya.


Apa di balik ketidakjelasannya ini, dia adalah anak yang pintar?


"Gue tinggal dulu, ya? Atau lo mau gue temenin masuk?"


Aku segera memelotot dan menidakkan dengan isyarat tangan.


"Oh, oke. Kalo gitu gue tinggal."


Sepertinya ia tak sadar kalau tadi aku bisa memahami semua yang ia katakan tanpa harus diperagakan dengan aneh. Benar, aku memang kelepasan tadi. Namun untunglah dia tak sadar.


***

Sincerely,

Dark Peppermint

Mahda: The Girl Who Can't Hear (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang