🔪FOURTY EIGHT.

Mulai dari awal
                                    

"Aku benci penindasan," desisnya, tatapan dingin dan mematikan itu membuat satu temannya gemetar.

Memegang tangan gadis yang kepalanya sudah mengeluarkan darah, El tersenyum smrik. "Tenang, kau tidak akan mati. Hanya ku beri sesuatu supaya kau ingat selama hidupmu."

Krak!

Krak!

"Argh! You so fucking damn, Bastard!" teriaknya memaki El, saat tulang dan sendi tangannya El putar dua kali untuk dipatahkan.

"Yah, setidaknya aku tidak jadi penindas sepertimu, kau sombong sekali hanya karena memiliki kulit putih, kau pikir berhak menindas yang tidak berkulit putih?"

Bugh!

Sekali pukulan lagi mengenai hidunya, dan mengeluarkan darah, beberapa detik gadis itu tidak sadarkan diri, namun El tidak membuatnya pergi untuk selamanya.

Mengibaskan rambutnya ke belakang, El menghampiri satu gadis yang sedang mematung di tempat, melihat temannya tidak sadarkan diri. "Giliranmu?"

Bugh!

Bugh!

Krak!

Setelah menendang perutnya sampai gadis itu terjatuh dan terbatuk, El langsung memegang kaki dan memutarnya sekali, teriakan pun sangat terdengar nyaring.

El mengambil serpihan kaca botol minuman, dan menggoreskannya pada perut si gadis berkulit putih yang masih sadarkan diri. Tidak dalam, El hanya menggores untuk peringatan saja, meski begitu.... darah tetap keluar.

"Selesai, kuharap ini menjadi pelajaran untuk kalian berdua," ucap El.

Gadis berkulit hitam itu masih setia menutup mulutnya sepanjang dia melihat aksi El tadi. Kakinya gemetar, sepertinya dia syok sekaligus terkejut dengan apa yang dia saksikan depan mata.

"Kau, kenapa masih di sini? Berharap aku antarkan pulang? Aku tidak sebaik itu. Pergi'lah! Sebelum ada yang mengganggumu lagi, aku tidak sudi menolong seseorang lebih dari sekali karena kebodohannya sendiri. Aku pun ingin pulang, karena aku lapar. Kau menyusahkanku saja." Usai mengatakan itu, El pergi begitu saja, meninggalkan gadis berkulit hitam yang setelah beberapa langkah El pergi, dia pun langsung berlari meninggalkan tempat itu.





Malam hari tiba, hanya tinggal dua jam lagi untuk menuju pukul 00.00 AM. Tepat pada tanggal tiga puluh satu Agustus.

Arcy sudah menyiapkan segalanya. Dimulai kue ulang tahun, dan hadiah terbaik untuk adiknya.

Saat ini Arcy sedang memotong-motong jari kaki Edward, dalam keadaan sadar Edward hanya mampu berteriak terbatas. Mulutnya Arcy ikat menggunakan kain tebal.

"Ternyata jari-jarimu tidak jauh berbeda dengan jari-jari putrimu," ujar Arcy, mengambil minyak tanah dan menuanhkannya pada luk di jari kaki yang telah terpisah.

Clup!

Clup!

Clup!

Clup!

Empat tancapan kemudian dilepas kembali, Dengkul Edward mengeluarkan banyak sekali darah. Pisau itu bergesekan dengan tulang pada dengkul.

Arcy menyukainya.

Beralih pada bagian tangan, Arcy kini mengambil sebuah kapak, tanpa aba-aba dia langsung menebas satu tangan Edward, darah segar keluar sangat deras bagaikan air sungai tanpa hambatan.

Tangan yang sudah putus itu, dia mainkan di depan wajah Edward, kemudian darahnya dia usapkan pada polisi yang sudah lemah.

Edward masih berusaha untuk tetap membuka matanya, dia tidak rela jika pergi dengan cara seperti ini dan di tangan Arcy.

Arcy mengambil termos, yah... tadi dia sempat mampir ke minimarket untuk membeli termos, kemudian mengisinya dengan air panas.

Sur!

Dengkul Edward melepus saat air panas dari termos mengenai daging dan juga tulangnya. Tidak perlu ditanyakan rasanya seperti apa, cukup bayangkan saja bagaimana sakitnya.

Tidak sampai di itu, Arcy pun mengukir dengan pisau di bagian punggung Edward. A.V dengan besar dan panjang terpanpang jelas di sana.

Menyiksa Edward selama dua jam penuh, sangat mengasikkan untuk Arcy.

Sekarang tepat pukul 00.00 AM. Arcy mengambil kue yang sudah dinyalakan lilin berangka enam belas.

Arcy membawa kue itu tepat di depan Edward, kemudian Arcy membuka kain yang menutup bibir polisi tersebut. "Nyanyikan satu lagu ulang tahun untuk adikku," ucap Arcy terkesan perintah.

Edward pun dengan terpaksa menyanyikan lagu Happy Birthday.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happ–" Nyanyiannya terpotong karena tiba-tiba saja Arcy menempelkan sebuah pisau kecil ke lehernya.

"Nyanyikan dengan suara yang merdu, aku tidak menerima kejelekan dan kesalahan sedikitpun di hari ulang tahun adikku!" ucap Arcy, kemudian tersenyum miring.

Edward menatap benci Arcy, matanya seolah menyesali segala perbuatannya pada El. Apa lebih baik dia memberitahu sekarang? Memberitahu, jika adiknya itu masih hidup.

Namun, Edward pikir itu adalah hal yang sia-sia, kalian pikir Arcy akan percaya begitu saja? Justru Arcy akan beranggap kalau Edward hanya mengarang pengakuan demi keselamatan dirinya.

"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday... happy birthday to you." Sepanjang Edward menyanyi, Arcy menyayat wajah Edward dengan pelan, tetapi sangat dalam, membuat darah keluar mengalir.

Arcy pun bertepuk tangan setelah Edward menyelesaikan nyanyiannya. Kemudian dia memejamkan matanya. "I miss you, sister, dan ini untukmu." Arcyi meniup lilin tersebut.

Saat yang ditunggu tiba. Arcy mengambil kapak, kemudian mulai menganyunkannya. "Hadiah terbaik, untuk adikku adalah kematian dirimu."

"She''s still alive."

Bersamaa dengan itu, kapak yang Arcy ayunkan menebas sempurna kepala Edward. Darah mengalir, dan Arcy tersenyum bahagia.

"Happy birthday, El."





Fuy!

"Selamat ulang tahun, El," ucap Caisi, kemudian memeluk El.

El pun membalas pelukan itu dengan senyuman, meski tidak bersama Arcy, setidaknya ada seorang teman yang menemainya malam ini. "Thank you so much, Cai."

"Semoga, yang kau harapkan... akan segera terwujud," paparnya sambil melepaskan pelukan yang terjadi.

Aku hanya ingin segera bertemu dengan kakakku, yang sialan itu, batin El.

Beberapa saat kemudian, El pun memotong kue ulang tahun yang Caisi belikan untuk merayakan umur barunya. Mereka memakan berdua sambil bertukar cerita di tengah malam, hari ulang tahun El.





Hazardous [END].Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang