Ola tidak menginginkan kehadirannya atau anak-anak yang dikandungnya kelak menjadi penghalang kebahagiaan orang lain. Dia ingin semua saling memahami dan selalu bersyukur apapun keadaannya.
"Papa nggak mau di kemudian hari ada pertikaian antar saudara. Jadi, Papa serahkan ke Sabine semua harta Papa. Terserah bagaimana dia kelola, siapa yang akan dia tunjuk sebagai pendampingnya. Biar dia yang atur. Papa harap kalian memahami keadaan kami berdua."
Ola lega melihat Akhyar yang sangat tenang ketika menjelaskan alasan mereka pindah. Dan sepertinya mereka menerima penjelasan Akhyar. Meski ada sisi sedih dalam keputusan Akhyar dan Ola, namun ada sisi lain yang menyenangkan. Mereka senang, Akhyar dan Ola akan tinggal berdekatan dengan kediaman mereka.
"Lha. Piye, Bu Ola. Orangnya masih hidup kok sudah bagi-bagi warisan," rutuk Mbok Min sambil mengipas-ngipas Nesrin kecil yang ada di gendongannya. Tangan yang lainnya sibuk menepuk-nepuk lembut pantat Nesrin.
Nayra dan Ayu yang sedang bekerjasama membuat minuman hangat senyum-senyum mendengar rutukan Mbok Min.
"Biar tenang, Mbok. Ntar ada yang masuk penjara kayak aku..., piye?"
"Sopo sing masuk bui, Bu Ola. Hadeeeh, anak-anak belum lahir udah punya masalah. Kasiaan cah ganteng dan cah ayuuuu..."
Ola menggeleng melihat wajah geram Mbok Min.
"Udah, Mbok. Yang penting kan Ibu deketan sama kita. Bisa main-main, seneng-seneng, kumpul-kumpul bareng kayak sekarang nih. Coba kalo di sana. Kan jauh banget. Mesti siap-siap dulu segala macem...," sela Nayra.
Tampak Ayu sudah siap-siap membawa baki ke ruang depan.
"Halah. Maumu, Nay. Palingan ibumu sibuk urus adik-adikmu. Nggak sempat kumpul-kumpul. Dua lho, Nay. Netek sini, netek sini..., Hah..., mumet aku,"
Ola tertawa dan Nayra tertawa melihat tanggapan Mbok Min yang menggerakkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan. Nesrin hampir merengek dibuatnya. Dengan cepat Mbok Min membujuknya dengan kata-kata sayang.
"Ya sempetlah, Mbok. Orang deket ini. Kecuali kalo jauh tuh di apartemen..." balas Nayra.
"Tapi yo Farid jadi jauh lo, Nay. Eh. Denger-denger ditawarin Bu Hanin tinggal di PIK tuh."
"Nggak, Mbok. Kayaknya tetap di apartemen Rena di Sudirman deh. Rena kan nggak suka tinggal di rumah-rumah gitu."
"Yah. Tergantung Farid, bakal milih tinggal di mana..." ujar Ola. "Yang penting semua aman dan tenang dan nggak ada yang diributkan..." lanjutnya.
Tak lama kemudian, terdengar tawa renyah dari arah ruang depan. Sepertinya Akhyar, Guntur dan Said terlibat perbincangan seru. Suara Akhyar terdengar mendominasi perbincangan. Entah apa yang mereka perbincangkan. Sepertinya hal yang berhubungan dengan Ayu, karena Ayu tidak kembali lagi ke dapur sejak menghidangkan minuman hangat di ruang depan.
Nayra dan Ola saling pandang, lalu saling rangkul. Keduanya tersenyum bahagia berharap kebahagiaan mereka siang ini akan berlangsung terus menerus tanpa gangguan.
"Tetap jaga hubungan baik dengan Sabine, Nayra. Jangan singgung-singgung masalah ini jika kalian berjumpa atau berkumpul. Dia tetap adik atau kakakmu, Anak papamu, anak Ibu juga. Ibu tau dalam hati kecil kalian pasti menyalahkan Sabine. Terutama Papa."
"Wajar kita salahkan Sabine, Bu. Nggak pantas menanyakan itu di hari bahagia Papa dan Ibu. Itu memang haknya. Kita semua tau. Tapi alangkah baiknya dia membahasnya setelah hari bahagia Ibu dan Papa..."
Ola tersenyum melihat wajah Nayra yang menyesali sikap Sabine.
"Mungkin memang jalannya sudah ditakdirkan begitu, Nay. Kita nggak perlu menyesal dengan apa yang sudah terjadi dalam hidup. Dijalankan saja. Nikmati. Jangan lupa bersyukur terhadap apapun yang terjadi, baik atau buruk."
Mbok Min tersenyum mendengar kata-kata bijak Ola. Ini yang dia suka dari ibu majikannya, selalu melihat sisi baik dari setiap peristiwa yang dia alami. Pantas hidupnya seperti tidak memiliki beban.
Pandangan Nayra tertuju ke perut buncit ibunya. Lalu dia tersenyum tipis.
"Dua ya, Bu. Adikku..., pasti senang didekap Ibu setiap saat."
"Tuh. Mulai cemburu..."
________
Akhyar senang menyaksikan keakraban keluarga Ola di rumah yang dia diami sekarang siang ini. Tawa canda seakan tidak mau berhenti terdengar di ruang keluarga. Tidak terasa siang hari itu sudah mulai beranjak sore. Dan keluarga Guntur pun sudah hendak pamit pulang.
"Proses guru besarmu bagaimana, Gun?" tanya Akhyar ketika Guntur memasang sepatunya di teras depan.
"Minta doanya, Pa. Tinggal menunggu hari saja. Semua persyaratan sudah terpenuhi," jawab Guntur mantap. Akhyar tepuk pundaknya dengan perasaan bangga.
Tak lama kemudian, mereka pun saling berpelukan sebelum pamit ke rumah atas.
Sambil berangkulan berdua, Akhyar dan Ola mengamati langkah keluarga Guntur yang menjauh dari rumah mereka.
"Bukan main Guntur senang di hari tuanya. Punya istri baik, Ayu yang cantik, Bagas yang pintar. Punya menantu yang alim, yang mau menuruti kata-katanya. Sudah memiliki cucu yang cantik dan sehat pula. Sekarang akan memiliki anak dan cucu lagi. Tak lama lagi akan meraih gelar akademik tertinggi. Hidup yang sempurna..."
Ola tersenyum mendengar kata-kata Akhyar. Dia eratkan rangkulannya.
"Hidupku juga sempurna. Punya istri secantik bidadari, yang sedang mengandung sepasang anak yang lucu dan menggemaskan..." ucap Akhyar penuh kehangatan.
"Aura kebaikan kamu itu menular, Ola. Siapapun yang dekat sama kamu, pasti akan merasakan nikmatnya kehidupan..."
Ola senang mendengar kata-kata suaminya yang penuh dengan pujian.
________
Malam menjelang tidur, sambil tiduran di dalam kelambu, Akhyar asyik bercengkrama dengan istrinya, membahas pertemuan keluarga yang sangat menyenangkan di sore tadi. Keduanya tertawa membahas kehidupan pasangan Said dan Ayu yang menggelikan. Baru beberapa bulan usia Nesrin, Ayu sudah mengandung lagi.
Akhyar bercerita bahwa dirinya sangat kaget saat Guntur memberitahunya bahwa Ayu hamil lagi. Dia hampir tidak mempercayainya karena dia masih mengingat proses melahirkan Ayu yang cukup mendebarkan. Dia mengira Ayu kapok melahirkan dalam waktu dekat.
"Aku tanya Ayu. Nggak trauma, Sayang? Dia bilang, nggak, Njid. Pas ke luar bayinya, langsung lega. Pas gendong Nesrin jadi kepingin banyaaak..., habis lucuuu. Ampun anak itu kuat sekali mentalnya. Kelihatannya lugu, ayu, penurut, tapi sebenarnya dia anak yang sangat kuat," tutur Akhyar sambil mengusap-usap perut buncit istrinya.
"Ayu itu memang kuat, Mas, walau manja. Keliatan dari cara bicaranya dan tatapan matanya. Makanya Nayra mudah ngebimbingnya. Ditambah papanya yang pintar juga," tanggap Ola.
"Anak-anak kita nanti gimana ya, La? Apa baik kayak kamu?" gumam Akhyar. Tangannya kini beralih membelai pipi Ola.
"Kamu juga baik, Mas. Cuma aku khawatir anak-anak suka maksa-maksa nantinya..., Ibu aku pengen ini, Papa aku mau itu. Cepetaan. Nggak boleh lamaaa..."
Akhyar tertawa mendengar canda Ola. Dia kecup dahi Ola dalam-dalam, menunjukkan rasa senangnya berdekatan dengan Ola. Ola dengan senang hati menyambutnya.
Tapi kecupan Akhyar berpindah ke leher Ola.
"Udah, Mas. Tadi siang nggak ada istirahat. Pasti capek," elak Ola yang mendengar deru napas memburu dari tubuh suaminya. Tapi tampaknya dia akhirnya merasakan keinginan disentuh lebih dalam oleh Akhyar karena jari-jari tangan Akhyar membelai-belai lembut bulu-bulu halus miliknya dari balik dasternya.
Ola yang mulai tidak tahan, membuka mulutnya lebar-lebar dan meraup bibir Akhyar, serta menghisapnya kuat. Tangannya pun juga ikut menyelip di balik bawahan pijama Akhyar. Dia raba-raba milik Akhyar.
Tapi...
"Ah. Ck. Siapa yang menelpon," gerutu Akhyar bersamaan dengan suara dering ponselnya.
Dia raih ponselnya yang berada di atas lantai di luar kelambu.
"Sabine?"
_______
96. Pesan Ola
Mulai dari awal