"Bentar-bentar, gue takut lo berekspektasi tinggi, jadi gue kasih tau dulu deh oleh-olehnya apa."

"Apa?"

"Baju kotor."

"Eh sialan lo, gue udah manasin motor anjir."

"Dinginin lagi aja, masukin kulkas."

"Tau ah, ngomong aja sana sama tembok."

"Tembok? Maksudnya Daffin?"

"Bodoamat."

"Bang ... bang Arga."

Zio memeriksa layar ponselnya sebentar kemudian menempelkan lagi benda pipih itu di telinganya.

"Bang jangan ngambek dong, gue kan bercanda."

Zio menatap layar ponselnya lagi, panggilan Arga masih tersambung tapi cowok itu nggak ngomong sama sekali.

Masa iya dia ngambek? Lagian mana ada manasin motor secepat itu, jalan dari kamarnya ke luar aja bisa sampe setengah menit, ditambah Arga suka lupa nyimpen kunci motornya.

"Eh eh bang, tadi gue ketemu cewek cantik loh." ucap Zio.

"Semua cewek cantik, kalo ganteng ya laki-laki."

Nah kan giliran ngomongin cewek langsung nyahut.

"Tapi waria pada cantik tuh."

Zio denger suara tawa keras di seberang telepon, dia yakin Arga lagi ketawa dan ketawanya yang nular itu akhirnya bikin Zio senyum-senyum nggak jelas, nahan tawa.

"Gue jadi keinget si Deka yang digombalin waria waktu itu."

"Ahaha iya, gue sempet ngira cewek tulen, eh pas bersin suaranya cowok." Zio ngomong sambil mati-matian nahan ketawa. Dia inget banget kejadian itu, apalagi kejadian itu baru disinggung Dastan tadi sore.

"Ya udah deh, gue mau nelepon si Deka dulu, dia barengan sama lo kan ya?"

"Iya, ya udah bang, gue juga mau makan malem."

'pip'

Zio matiin ponselnya masih dengan sisa-sisa ketawa.

Cowok itu tiduran di kasurnya sambil menatap langit-langit, kalo udah nempel kasur tuh males ngapa-ngapain. Bahkan buat menuhin kebutuhan tubuh kaya makan aja males, males masaknya sih.

Ngomong-ngomong soal Arga, kalo dipikir dia ternyata seperhatian itu. Bukan cuma Arga sih, tapi semua sahabatnya, mereka punya cara masing-masing buat mengekspresikan kepedulian mereka. Zio ngerasa bersyukur banget, dua belas orang itu bisa nemenin dia yang tinggal sendirian di Jakarta.

Zio kemudian bangkit dari tidurannya dan berjalan menuju ruang tamu. Alih-alih pergi ke dapur, cowok itu milih deketin pintu keluar.

Udara malem itu agak lebih panas dan Zio males buang waktunya buat cari-cari remot AC yang lupa dia taruh di mana, buka pintu depan dan ngebiarin angin masuk lebih gampang.

Pintu dia buka sedikit-sedikit, "Bentar deh, bang Daffin kan udah balik duluan, dia ada janji traktir gue, gue tagih aja sekarang berhubung males masak." gumam Zio.

"Bukain pintu tuh yang lebar bukan cuma tiga sentimeter kaya gitu, lo kira badan gue triplek?"

Suara berat di sampingnya bikin Zio terlonjak kaget dan tangannya refleks banting pintu dan melompat agak jauh.

'kriet'

"Lo ada tamu bukannya disambut, atau digelarin karpet merah, malah dikasih bantingan pintu." Eksistensi Daffin perlahan keliatan dari balik pintu.

Zio masih bengong di posisinya, ngeliatin cowok di depannya dari bawah sampe atas. Dia kaget banget sama suara dan kedatangan Daffin yang tiba-tiba.

Kok Daffin tiba-tiba ada di depan pintu rumah dia? Apa cowok itu bisa teleportasi?

"Lo kok masuk? Kan belum gue suruh." bales Zio.

"Lama, keburu ayam jantan bertelur, banyak nyimak lagi." jawab Daffin.

"Nyamuk, bang." koreksi Zio, masih belum beranjak dari posisinya.

"Nah itu lo tau."

"Lo mau apa ke sini sih? Kok nggak telepon dulu."

"Jelas ... gue mau maling, masa telepon dulu, ketahuan dong."

Zio masang ekspresi datar, jokesnya Daffin tuh garing, bukannya bikin ketawa malah bikin kesel. Ya ... sebelas dua belas lah sama Rey.

"Dari tadi gue teleponin nggak bisa, operator lo sibuk, ya gue dateng aja."

"Mau ngapain?"

"Mau ngajak lo makan, kalo nggak mau ya udah, gue balik." ucap Daffin yang udah mau balikkin badannya.

"E-eh bentar-bentar gue ambil jaket dulu." Zio langsung lari ke kamarnya dan ambil jaket, dompet dan nggak lupa ponselnya.

Setelahnya dia langsung samperin Daffin yang berdiri di deket gerbang. Setelah keluar dari gerbang baru lah Zio sadar kalau mobil Daffin udah terparkir di sana.

Daffin langsung buka kuncinya sedangkan Zio ngunci gerbang rumahnya sejenak sebelum ikut masuk.

Zio membuka lebar kaca jendela kemudian menaikannya kembali setengah.

"Bang, lo tau Song Jongki, kan?" tanyanya tiba-tiba.

Daffin yang lagi fokus nyetir itu mengangguk, "Kenapa emang?"

"Tadi gue liat Song Jongki, anjir."

"Halah palingan di handphone, kan?" bales Daffin nggak percaya.

"Engga! Ini beneran!"

"Di mana emang liatnya?"

"Tadi pas gue ngaca di spion mobil lo ... eh gue malah liat Song Jongki."

"Ternyata ngaca itu nggak mastiin setiap orang bakal sadar ya," Daffin menoleh sekilas kepada Zio sebelum melanjutkan ucapannya, "Apa mau gue hubungi Woozi atau Dastan biar di sadarin?"

"Buset, janganlah! Bercanda gue. Lo kaya nggak tau aja omongan mereka tuh kaya apa."

"Ya kan bagus, biar sadar."

Zio berdecak, "Iya deh, gue Zio bukan Song Jongki. Tapi kalo soal ganteng, memang kenyataan sih, gue emang ganteng."

"Gantengan juga gue." Daffin bergumam.

Zio menoleh ke cowok itu sambil masang muka kaget. Tumben banget, Daffin yang biasanya cuma muterin bola mata males sekarang nggak mau kalah.

"Bang, itu setir mobil jangan di puter-puter." ucap Zio tiba-tiba.

"Lah? Kenapa?"

"Takut migrain."

Daffin langsung menarik napas dalam sebelum kembali fokus ke jalanan.

"Kalo nggak di puter nggak bisa belok, lo aja sini gue puterin biar migrain."

"Oke ... oke, gue diem."

AVIATEEN [SVT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang