Para siswa SMA berhamburan melewati gerbang dengan wajah penuh semangat karena libur semester telah tiba.

Marko dan dua temannya berada di trotoar depan sekolah yang dipenuhi tukang ojek pangkalan sedang menunggu tumpangan dan cowok-cowok dari sekolah lain yang menunggu gebetan. Marko berpikir, satu-satunya perbedaan mencolok antara para tukang ojek dan cowok-cowok itu adalah tipe motor yang mereka kendarai, tapi intinya sama-sama tukang antar-jemput.

"Kita kemana dulu gitu, yuk. Baru juga jam dua," ajak Marko.

"Capek gue. Kepala pusing," jawab Sakti.

"Nyampe rumah juga maen, lo!" tukas Marko.

"Gue juga langsung pulang deh, Ko. Ada novel yang gue anggurin seminggu gara-gara ulangan," Sani berusaha semaksimal mungkin agar nada bicaranya terkesan penuh penyesalan.

"Ayolah, temenin gue dulu bentar."

"Ih, elo ini!" Sani kehilangan kesabaran. "Kan nanti juga ujung-ujungnya lo bakal pulang, tetep ketemu bokap lo. Mau pulang ntar atau sekarang juga sama aja. Lagian udah mendung gini, gue males kejebak ujan."

Suara petir yang begitu samar dapat terdengar dari kejauhan. Suara itu dapat terdengar beberapa kali dalam kurun waktu yang tidak begitu jauh antara satu dan lainnya.

"Oh iya, bener. Perasaan tadi masih terang," Sakti menengadahkan kepalanya ke arah langit. Benar saja, langit yang beberapa menit lalu masih cerah sekarang nampak suram. Sakti merasa ada yang tidak beres. Ia ingin memberitahu teman-temannya, tetapi kepada diri sendiri pun Sakti tidak bisa menjelaskan apa yang membuatnya merasa pemandangan langit saat itu aneh. Selain langit kelabu, Sakti juga menyadari cahaya matahari yang tampak seakan meredup. Padahal belum juga sore, awan dan kabut pun tidak ada. Sakti menggeleng, mengeluarkan pikiran-pikiran tersebut dari kepalanya. Mungkin hanya mendung.

"Gue temenin lo deh bentar."

"Nah, gitu dong!" Marko merangkul Sakti. "Yaudah gih pulang," Marko pura-pura mengusir Sani.

"Emang pada mau kemana sih?" tanya Sani.

"Kemana kita, Ko?" Sakti menengok ke arah Marko di sebelahnya, bertanya.

"Ke Napak Tilas yuk," ajak Marko. Napak Tilas adalah kafe kekinian yang ada di taman. Kata orang makanannya biasa aja, tapi tempatnya bagus untuk foto-foto. Marko hobi ke Napak Tilas karena di sana dia bisa cuci mata memperhatikan mahasiswi-mahasiswi yang duduk sendirian mengerjakan tugas.

"Aduh, ke sana lagi, kayak nggak ada tempat lain," kata Sani. Sani kurang suka Napak Tilas. Baginya, sungguhlah hebat orang-orang yang bisa konsentrasi mengerjakan tugas atau membaca buku di tempat itu. Karena harganya yang relatif terjangkau, Napak Tilas hampir selalu ramai oleh anak-anak muda dari berbagai kalangan, dan kebanyakan dari mereka senang sekali mengobrol keras-keras dan bercanda sambil berteriak-teriak layaknya orang kesurupan. Mungkin karena tempatnya outdoor jadi orang merasa bebas untuk berisik tanpa memperhatikan sekitar.

Karena letaknya tidak begitu jauh dari sekolah, mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja sambil mengobrol. Meskipun yang terjadi sebenarnya adalah mereka harus berjalan berbaris karena trotoar telah menyempit dan dipenuhi pedagang, motor yang parkir seenaknya, hingga pengemis yang berjejer sepanjang trotoar. Jangankan mengobrol, sepanjang jalan mereka lebih sibuk berhati-hati agar tidak menyenggol ataupun tersenggol kendaraan yang datang dari arah berlawanan. Jalanan yang agak sepi membuat motor dan mobil bisa dengan asyiknya ngebut.

"Jaman cucu kita nanti yang namanya trotoar mungkin bakal cuma jadi urban legend," gumam Sakti.

"Cucu kita nanti ngobrol tuh sama temen-temennya, 'eh tau nggak, konon katanya jaman dulu itu orang punya tempat buat jalan kaki loh, namanya Trotoar! Tapi lama-lama trotoar diambil alih sama pengendara motor buat ngindarin macet, makanya sekarang kita nggak punya trotoar!' dan teman-temannya bakal bilang, 'Ah boong itu, percaya aja lo sama takhayul.' lanjut Sakti, sambil memperhatikan setiap langkahnya agar tidak dengan sengaja menginjak dagangan mainan anak-anak yang digelar di atas tikar.

ReinkarnasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang