Alexander tidak terkejut dengan perkataan Suster Olene. Ia memang sudah biasa mendengar nasehat dari perempuan baya ini yang sudah ia anggap seperti bibinya sendiri. Suster Olene tidak pernah berhenti peduli dengan perasaan Alexander dan Alexander sangat menghargai hal tersebut karena ia dapat merasakan sedikitnya kehangatan dari orang yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri. Alexander selalu mendambakan kasih sayang tersebut tapi nyatanya ia hampir tidak pernah merasakannya jika bukan hadirnya Dokter Jerald dan Suster Olene.

Begitu hancur hatinya saat ia menghadiri pemakaman Dokter Jerald yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada pelukan terakhir, tidak ada senyuman hangat dari Dokter Jerald untuk terakhir kalinya dan tidak ada lagi kata-kata seperti, "Semangat nak, kau pasti akan berhasil karena aku percaya denganmu," yang sering dikatakan oleh Dokter Jerald sewaktu Alexander mengalami keterpurukan. Dokter Jerald pergi begitu saja sama seperti kedua orang tuanya. Ia ingin marah tapi ia tidak bisa. Kepada siapa ia harus marah? Kepada dunia karena terus-terusan memberikan tragedi dalam kehidupannya? Kepada Tuhan karena terus-terusan merenggut orang-orang terkasihnya? Jadi Alexander hanya bisa marah kepada dirinya sendiri karena hanya itu yang bisa dia lakukan.

"Kau sedang berbicara apa? Aku tidak apa-apa." Balas Alexander, sedikit tertawa untuk mencairkan suasana atau berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Hidup hanya sekali. Kita hanya memiliki satu kali kesempatan di hidup ini, only one turn—which is not fair for all of us because there's so much for us to chase yet we only have this harsh one life time right? Tapi ketika kita mati semua yang ada di kehidupan kini akan kita tinggalkan untuk selamanya, Alexander. Semua. Kenangan, cita-cita, mimpi-mimpi bahkan achievement yang sudah kita capai dengan jerih payah dan tangisan darah kita juga akan kita tinggalkan. Jadi jangan terlalu terikat pada perasaan sedih dan marah yang ada dalam dirimu karena semua itu hanya sementara, namun tetap rasakan semua perasaan itu karena itulah yang membuat hidup kita lebih berarti, itulah tujuan hidup kita yang sesungguhnya... we live in the moment, right now, this second, not for tomorrow or yesterday or the past or even the future. So make this second count."

"Kau memiliki bakat untuk menulis buku motivasi, Suster."

Suster Olene tersenyum tulus, "Itu tiada gunanya kalau orang-orang terdekatku tidak berhasil menjalani hidup seperti yang mereka inginkan. Sejauh ini Jerald sudah hidup maka dari itu kepergiannya membuatku tidak begitu sakit. Sekarang aku hanya mengkhawatirimu dan Jerald juga pasti begitu. Dia mengenalmu lebih daripada kau mengenal dirimu sendiri. Sekarang Jerald sudah tidak ada, kau harus mengenal dirimu sendiri Alexander. Jangan sampai jatuh ke jurang yang sama lagi." Alexander mengerti apa yang dibicarakan oleh Suster Olene.

Semua kata-katanya begitu jelas dan Alexander merasa sedikit banyaknya menjadi lebih semangat setelah mendengar kata-kata tersebut. Tapi, semua tidak semudah yang dikatakan Suster Olene; live a little and make it count.

"Kemarin Alexia datang berkunjung." Ucap Suster Olene yang langsung ditanggapi dengan ekspresi penasaran Alexander. Suster Olene tersenyum usil seolah-oleh ia baru saja memenangkan lotere. Suster Olene sadar ada sesuatu di antara Alexander dan Alexia sudah dari lama, ia juga tidak pernah bosan mengikuti perkembangan mereka berdua. "Waktu itu kau sedang ada meeting dengan para dokter di rumah sakit ini jadi ia bilang lain waktu saja ia akan berkunjung lagi."

"Kenapa kau baru bilang sekarang?" Rasanya jantung Alexander bedegup lebih kencang.

Suster Olene hanya mengangkat bahunya ringan dan berkata, "Aku kira kau tidak ingin diganggu."

Alexander membuang nafas kesal, "Kau sengaja, kan? Aku mengenalmu!" Ucap Alexander dengan nada ngambek tapi ia masih bersikap sopan. "Ya sudahlah, untuk hari ini sesi terapi oleh Suster Olene sudah berakhir ya, kan? Bolehkah aku kembali merana menatapi dokumen-dokumen rumah sakit dan pasien yang menumpuk ini?" Tanya Alexander berusaha mengusir Suster Olene dari pandangannya.

"Nice try chasing me away, young man." Suster Olene bangkit dari duduknya dan melambaikan tangan seadanya kepada Alexander.

Setelah Alexander memastikan suara langkah Suster Olene sudah menjauh, Alexander langsung mengambil ponselnya dan memeriksa apakah ada update terbaru dari Alexia tapi nihil. Tapi tadi kata Suster Olene, tempo hari Alexia mencarinya bukan? Apakah itu berarti Alexia sudah ingin berbicara dengan Alexander dan tidak marah lagi dengannya?

Alexander menepis gengsinya dan langsung menelepon Alexia. Tapi belum sempat nada dering berbunyi, Alexander mematikannya. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dan langsung beranjak keluar dari ruangan kerjanya. Ia memutuskan untuk langsung mencari Alexia langsung.

This better be good. Harapnya di dalam hati.

Welcome HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang