Alenza bukanlah type orang yang suka minta traktiran, jangan kan suka, dengan sukarela Divia yang ingin mentraktir pun selalu mendapat tolakan halus dari Alenza.

"Len..." Panggil Divia.

Alenza mendongak menatap sahabatnya dengan masih mengunyah makanan.

" Gue..... Mau minta maaf sama lo Len." Ungkap Divia.

" Kesalahan yang mana nih Div, kan salah kamu banyak Div sama aku." Gurau Alenza.

Sontak Divia melototkan kedua matanya menatap tajam sahabatnya.

" Mana ada salah gue banyak! Kalau suka ngerepotin baru banyak." Protes Divia.

" Iya-iya." Ucap Alenza.

" Emang Lo tahu gue minta maaf buat apa?" Tanya Divia menyondongkan tubuhnya ke depan.

Dengan gelengan Alenza menjawab pertanyaan Divia.

" Mama ku yang lugu!!!" Seru Divia dengan geregetan.

Suara Divia mampu membuat pengunjung Cafe menatap ke arah mereka dengan pandangan seolah mengutarakan tatapan mengganggu pada Divia.

"Ups.... ." Ucap Divia menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

" Emang kamu mau minta maaf Apa Div?" Tanya Alenza menyeruput minumannya.

" Gue mau minta maaf soal..... Soal gue yang maksa lo buat jadi ibu sambung gue len." Ujar Divia menghembuskan nafas kasarnya.

Alenza menatap Divia dengan pandangan bingungnya. Berbeda dengan Divia yang memejamkan kedua matanya dengan wajah tidak relaan karena harus melepaskan keinginanya untuk mrnjadikan Alenza sebagai Ibu sambungnya. Bukan tanpa sebab Divia berucap seperti itu, semua itu berkat Papanya yang menyadarkan Divia meskipun dengan berat hati.

Flash back on

" Apa putri papa ini masih menginginkan sahabatnya untuk menjadi ibu sambung nya?" Tanya Arsya.

Divia terdiam.

" Divia sudah berjanji tidak akan memaksa Papa lagi." Jawab Divia dengan menunduk kan kepalanya.

Arsya duduk menyamping menghadap ke arah Putrinya.

" Divia, dengarkan papa baik-baik, sebelum itu papa ingin menyampaikan, apa yang papa katakan setelahnya papa sama sekali tidak bermaksud menumbuhkan kembali keinginanmu itu."

Arsya menggenggam tangan putri semata wayangnya, sebelum akhirnya kembali berbicara.

" Papa sudah mengutarakan lamaran papa kepada sahabatmu." Ucap Arsya.

Sontak Divia membulatkan matanya terkejut. Bagaimana mungkin Papanya ini sudah mengutarakan lamarannya, kapan itu terjadi.

" Lalu? Lalu ap..."

" Dengarkan penjelasan papa dulu." Potong Arsya.

" Sahabatmu sama sekali tidak menjawab apapun. Mungkin juga papa terlalu mendadak mengutarakannya. Tapi..... Divia Posisikan dirimu, sebagai sahabatnya juga. Pikirkan perasaan dan juga hatinya, apa kamu tega mempertaruhkan perasaannya demi keinginanmu? Apa kamu tidak berfikir mungkin saja ada impian yang sahabatmu itu ingin kejar dan karena keinginanmu dia harus mengubur dalam-dalam impiannya. Menikah bukanlah perkara mudah Divia." Jelas Arsya dengan penuh pengertian.

Seharusnya hal inilah yang Arsya lakukan, memberikan pengertian lebih pada putrinya, bukan justru membentaknya dan membiarkan Divia pergi dari Mansion.

My Friend Is My MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang